AN-NASAKH DAN AL-MANSUKH
DALAM AL-QUR’AN
Oleh; Nehrun
A.
Pendahuluan
Al Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW., Ia merupakan panduan
dasar bagi umat islam dalam menetapkan hukum Islam. Sebagai huda linnas
al Qur’an memiliki kekayaan dimensi hukum, baik dalam hal sifat universalnya
maupun bentuk pola-pola hukum syara’. Dalam kerangka itu, dalam menetapkan dan
menggali hukum Islam yang tertuang dalam al Qur’an, tentunya dibutuhkan alat
untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an yang di dalamnya
terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, an nasakh wa al mansukh, dan
yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.
An-Nasakh Wa Al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian
ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan
memahaminya seseorang akan mampu mamahami apakah hukum yang termaktub dalam
ayat-ayat Al Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
Betapa pentingnya menguasai ilmu An-Nasakh Wa Al-Mansukh dalam
suatu riwayat sahabat Ali bin Abi Thalib ketika melewati seorang hakim
mengatakan: “apakah engkau mengetahui nasakh ?” dan orang itupun menjawab:
“tidak”, maka Ali berkata “celakalah kamu dan mencelakakan orang lain”. Dari
riwayat tersebut dapat dipahami bahwa
eksistensi An-Nasakh Wa Al-Mansukh dalam insinbath hokum adalah mutlak adanya,
sebab dengan tidak memahaminya, hukum yang lahir akan jauh dari prinsip dasar
penyariatan (maqosid asy-syariah).
B.
Pengertian An-Nasakh Wa Al-Mansukh
Secara
etimologi nasakh dapat diartikan sebagai menghilangkan, membatalkan,
menghapus, mengganti, menukar. Adapun
menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut :
v Menurut Manna’
Khalil al-Qaththan adalah ;
رفع الحكم الشرعي
بخطاب شرعي
“Mengangkat
atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”
v Menurut
Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy :
رفع الحكم
الشرعي بدليل شرعي متأخر
“mengangkat /
menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian.[1]
Para ulama mutakaddimin memperluas pengertian nasakh sehingga mencakup beberapa
hal yaitu;[2]
a.
Pembatalan hukum yan ditetapkan terdahulu oleh
hukum yang ditetapkan kemudian.
b.
Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh
hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c.
Penjelasan hukum yang datang kemudian terhadap
hukum yang masih bersifat samar.
d.
Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang
bersyarat.
Sedangkan
adapun Para ulama muta’akhirin berpendapat nasakh terbatas pada ketentuan hukum
yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahuku sehingga ketentuan hukum
yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[3]
Pengertian Mansukh Secara etimologi
dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang
mengartikan “ الحكم المرتفع“[4],
yaitu “hukum yang diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum syara’
yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum
dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Dengan
demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara
bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh
mensyaratkan beberapa hal antara lain : a). Hukum yang di Mansukh adalah hukum
Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun
yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan
al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib,
Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah). b). Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga
harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT
dalam QS. Al-Nisa’: 59. c). Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah
dalil yang di hapus. d). Terdapat
kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua
sehingga tidak bisa dikompromikan.
C.
Kontraversi An-Nasakh dan Al-Mansukh dalam Al-Qur’an
Fokus pembahasan ini ialah
mengenai Naskh al-Hukm Dan at-Tilawah, yaitu persoalan ada atau tidaknya
perubahan hukum dari satu ayat dengan ayat lain, ketika ayat tersebut terpisah
dalam proses al-Nuzul-nya.
Persoalan Nasikh dalam al-Qur’an ini, bermula dari pemahaman ayat ;
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا
فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“ Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al
Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya. ”. (QS. al-Nisa ; 82).
Ayat ini mengatakan bahwa
ayat-ayat al-Qur’an tidak mempunyai perbedaan-perbedaan yang signifikan antara
satu ayat dengan yang lainnya. Sementara di tempat lain, al-Qur’an mengatakan ;
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا
أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ .
“ Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami
jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya
atau yang sebanding dengannya. Tidakkah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
” (QS. al-Baqarah : 106).
Abu Muslim al-Asyfahani,[5]
menolak anggapan bahwa ayat yang sepintas kotradiktif, diselesaikan dengan
jalan nasikh-mansukh. Lantas ia, mengajukan proyek takhsis sebagai
antitesa Nasikh-Mansukh. Menurutnya al-Qur’an adalah syari’ah yang
muhkam, jadi tidak ada yang mansukh. “Tidak datang kepadanya kebatilan
al-Qur’an baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari sisi Tuhan
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS. al-Fushilat : 42). Artinya, jika
sekiranya didalam al-Qur’an terdapat ketentuan yang telah di-nasakh, maka
sebagian hukum ayat al-Qur’an juga akan dibatalkan. Sementara syari’at dalam
al-Qur’an itu bersifat kekal. Karena ia berlaku sepanjang masa.
Fakhru al-razi dan
Muhammad ‘Abduh, juga termasuk yang memandang bahwa istilah Nasikh-Mansukh
tidak terdapat dalam al-Qur’an. Alasan mereka disandarkan pada ayat al-Qur’an “Dan
bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu. Tidak ada
seorangpun yang dapat merubah kalimat –Nya”. (QS. al-Kahfi : 27).[6]
Hanya kemudian, Muhammad ‘Abduh menggunakan istilah tabdil, penggantian,
pengalihan, atau pemindahan ayat hukum ditempat ayat hukum yang lain, bukan nasakh
dalam pengertian pembatalan.[7]
Sementara itu, sebagaian besar
Ulama’ (jumhurul ulama’) berkeyakinan bahwa didalam al-Qur’an terdapat
pembatalan hukum, Nasikh-Mansukh. Ibn Jarir menafsirkan ayat “dan
apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya,
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya”, sebagai “Kami
angkat ia, lalu Kami turunkan lainnya”.[8]
Sedangkan al-Syuyuti mengartikannya sebagai “Allah menurunkan perkara dalam
al-Qur’an kemudian mengangkatnya”.[9]
Ibn Katsir menegaskan
bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk menafikan Nasikh-Mansukh, karena
ia menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja sesuai dengan
keinginan-Nya.[10]
Hal ini, pula ditegaskan oleh Quraish Shihab, bahwa Allah tidak me-nasakh
dalam arti membatalkan suatu hukum yang dikandung oleh satu ayat, kecuali
Allah akan mendatangkan ayat lain yang mengandung hukum lain yang lebih baik
atau serupa.[11]
Berbeda dengan yang lain, al-Thabathaba’i mengatakan bahwa pertentangan
antara dua Nash dalam Naskh pada dasarnya merupakan pertentangan
lahiriah(ikhtilaf lafdziah), bukan pertentangan hakikiyyah
(esensi). Alasan al-Thabathaba’i ini didasarkan pada al-Qur’an Surat al-Nisa ;
82.[12]
Ia menegaskan Nasakh pada dasarnya bukan termasuk (yang terjadi karena)
pertentangan dalam perkataan (qawl), dan ia juga tidak (terjadi karena)
pertentangan (ikhtilaf) dalam pandangan hukum, melainkan terjadi karena
pertentangan dalam mushdaq (kriteria) dari segi dapat diterapkannya
hukum pada suatu hari, karena adanya mahslahat didalamnya. Dan dari segi tidak
dapat diterapkannya pada suatu hari yang lain karena bergantinya kemashlahatan
dari kemashlahatan yang lain yang mewajibkan hukum yang lain pula”.[13]
Oleh karena itu, al-Thabathaba’i beranggapan bahwa nasakh pada
dasarnya tidak hanya khusus terdapat pada hukum-hukum syari’at, melainkan juga
dapat terjadi terhadap takwiniyyah (persoalan-persoalan kosmo).
D. Cara Mengetahui An-Nasakh
dan Al-Mansukh dalam al-Qur’an
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas
pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya.
Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa
al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
1) Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi SAW. atau Sahabat.
Contohnya :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها. Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
Contohnya :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها. Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
2) Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat
yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat
diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang
menetapkan hal tersebut.
3)
Di ketahui dari salah satu dalil
nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang
Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
E. Urgensitas Al-Nasakh Wa al-Mansukh Dalam Kajian Hukum Islam
Pengetahuan
tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ulama,
terutama para fuqaha, mufassir dan ushul fiqh, agar pengetahuan tentang hukum
tidak menjadi kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak atsar yang mendorong agar
mengetahui masalah ini. Seperti yang diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati
seorang hakim lalu bertanya: Apakah kamu mengetahui yang dari yang mansukh?
“Tidak, jawab hakim itu. Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamu pun
mencelakakan orang lain.”
Dari Ibnu Abbas, bahwa ia
berkata tentang firman Allah “Dan barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya
ia telah diberi kebajikan yang banyak. “ (Al Baqarah: 269), “yang dimaksud
ialah (yang diberi ilmu tentang nasikh dan mansukhnya, muhkam dan
mutasyabihnya, muqoddam dan mu’akharnya serta haram dan halalnya.[14]
Terdapat alasan yang mendasar mengapa Al-Nasakh Wa al-Mansukh
perlu di pelajari mengingat kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan
tersebut adalah; a).Terkait status hukum Islam,
b). Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir
dan fiqh terkait dalam proses istinbath Hukum,
c). Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan
al-Qur’an, d).Terungkapnya Tarikhut
Tasyri’ dan hikmatut Tasyri, e). Salah
satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad, f). Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi
ayat.
1.
Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Jenis Nasakh ini
memperoleh kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan kata lain jenis
Nasakh ini bisa di terima. Contoh : Penghapusan kewajiban bersedekah ketika
akan menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Mujadalah:12 yang
di Nasakh ayat 13. Dan contoh lain adalah empat ayat tentang pengharaman
khamar.
2.
Nasakh Al-Qur’an dengan As-Sunah
Nasakh jenis ini
terbagi menjadi 2 macam yaitu :
a. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadis Ahad.
a. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadis Ahad.
Menurut Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini tidak diperbolehkan,
sebab Qur’an adalah Muatawatir dan bersifat Qot’I sedangkan Hadis Ahad adalah
bersifat Dzanni ( Dugaan ). Adalah tidak logis manakala sesuatu yang mutlak
kebenarannya harus di hapus oleh sesuatu yang masih bersifat dugaan (Dzan).
b.
Nasakh Qur’an dengan Hadis Mutawatir.
Menurut Jumhur ulama’, Imam Malik, Abu Hanifah dan
Ahmad, Nasakh jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari
wahyu. Hal ini di dukung dengan firman Allah SWT. Yang terdapat dalam QS.
Al-Najm:3-4
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)
“dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya”).
Namun demikian, bagi Imam Asy-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak
jenis Nasakh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an.
Hal ini di dukung firman Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah:106; “ Ayat mana saja yang Kami nasakhkan,
atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya ».
3.
Nasakh Sunah dengan Al Qur’an
Bagi Jumhur
ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas keberadaan
Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan as-Syura.
عن عائشة قالت: كان عاشوراء صياما, فلما انزل رمضان كان من شاء صام ومن شاء افطر (رواه بخارى ومسلم(
Artinya : dari Aisyah beliau berkata :” Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa”.
Sunah ini diNasakh oleh firman Allah yang
terdapat dalam ayat 185 dari surat Al-Baqarah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
“Beberapa hari
yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.(QS;A-Baqarah:185)
Walaupun
demikian menurut as-Syafi’I Nasakh jenis ini tidak dapat diterima juga, sebab
antara Qur’an dengan sunah harus berjalan beriringan dan tidak boleh
bertentangan. Dengan kata lain bagi as-Syafi’i adalah tidak mungkin mana kala
ada Hadis yang bertentangan dengan Qur’an. Selain itu, pandangan ini juga
mengisyaratkan bahwa adanya Nasakh menunjukkan adanya ketidak tepatan dalam
Hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Hadis pada dasarnya
sebagai penjelasan atas Qur’an.
4.
Nasakh Sunah dengan Sunah.
Jenis
Nasakh ini terdapat 4 macam, yaitu : Mutawatir dengan Mutawatir, Ahad dengan
Ahad, Ahad dengan Mutawatir, Mutawatir dengan Ahad. Bagi Jumhur ulama’ dari
keempat nasakh tersebut tidak menjadi masalah menjadi bagian dari Nasakh dengan
kata lain dapat diterima kecuali jenis yang ke empat yaitu Mutawatir dengan
Ahad.
Seperti
Hadits :كنت
نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها. Hadis ini Menasakh Hadis sebelumnya yang
menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
G.
Bentuk Nasakh Dalam al-Qur’an
Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah apakah jenis-jenis Nasakh di atas semuanya terdapat
dalam al-Qur’an ataukah mengambil bentuk yang lain. Kiranya menjawab pertanyaan
tersebut al-Qattan dalam bukunya Mabahis Fi Ulumil Qur’an membagi Nasakh dalam
al-Qur’an dalam 3 macam, yaitu :[16]
1.
Nasakh Al Hukmi Wa Baqo’ At Tilawah
Yakni penghapusan pemberlakuan suatu hukum dengan tidak menghapus
bacaannya atau teksnya tetap diabadikan dalam al qur’an
Contohnya
adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan larangan minuman keras secara
bertahap.
Ø Tahap pertama khamar tidak haram (An-Nahl; 67)
وَمِنْ ثَمَرَاتِ
النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًاإِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ.
“Dan dari buah
korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik.
Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
Allah) bagi orang yang memikirkan”.
Ø
Tahap
kedua khamar tidak haram (Al-Baqarah; 219)
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ
كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya".
Ø Tahap ketiga khamar tidak haram
hanya saja dilarang minum ketika mendekati waktu sholat (An-Nisa’; 43)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا
تَقُولُونَ..
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga
kamu mengerti apa yang kamu ucapkan….”
Ø Tahap ke-empat khamar haram total
(Al-Maidah; 90)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
"
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan”.
Jadi, dari keempat ayat diatas, tiga ayat pertama telah dihapus hukumnya walaupun masih termaktub dalam Al-Qur’an dan dibaca. Adapun yang berlaku hanyalah ayat yang terakhir turun yaitu bahwa khamar hukumnya haram secara mutlak.
2.
Nasakh
At Tilawah Wa Baqa’ Al Hukmi
Yaitu penghapusan secara tekstual,
tetapi tidak ada sedikitpun penghapusan hukum yang terkandung di dalamnya, atau
dengan kata lain bahwa hukumnya masih tetap berlaku. Bentuk nasakh seperti ini
dapat dicontohkan dengan pernyataan Umar bin Khathab yang mengatakan;”sekiranya
aku tidak khawatir dituduh banyak orang bahwa aku telah menambah-nambahkan
Al-Qur’an dengan yang tertulis di dalamnya, niscaya akan aku tuliskan ayat
tentang hukuman rajam, dan menyertakan di didalam mushaf”. Seraya membacakan
ayat:
"الشيخ
والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكالًا من الله، والله عزيز حكيم"
“Laki yang sudah menikah dan perempuan yang sudah menikah apabila
mereka masing-masing berzina, maka rajamlah sampai mati, Sebagai hukuman dari
Allah, dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”.[17]
Meski saat ini
kita tidak menemukan ayat rajam dalam Al-Quran, namun dengan riwayat ini
menunjukan bahwa dahulu Allah SWT. telah
mensyariatkan rajam di dalam Al-Quran. Adapun ayat yang memerintahkan rajam
tersebut sudah terhapus secara lafadz, namun secara hukum dan esensinya tetap
berlaku dan wajib dilaksanakan. Hal ini juga dikuatkan oleh apa yang
dipraktekkan Rasulullah. Selama masa hidup Rasulullah SAW sampai 3 kali beliau merajam pezina. Mereka
adalahAsif, Maiz dan seorang wanita Ghamidiyah.
3.
Nasakh Tilawah
Wa Al-Hukmi Jami’an
Yaitu Nasakh Tilawah (bacaan) beserta Hukumnya. Artinya keberadaan ayat
dan hukumnya telah dihapus sehingga tidak dapat kita jumpai lagi dalam
al-Qur’an. Jenis Nasakh ini menjadi debatable, sebab apakah mungkin hal yang
demikian itu terjadi. Tentunya keraguan yang demikian itu adalah wajar, sebab
bisa jadi keberadaan jenis Nasakh ini tereduksi dengan kepentingan tertentu.
Namun demikian dalam literatur yang ada, pada dasarnya bentuk Nasakh ini
merujuk pada Hadis riwayat Muslim dari Aisyah yang menyatakan bahwa :
"كان فيما أُنزل: عشر رضعات معلومات يُحرِّمن، فنسخن بخمس معلومات، فتوفي رسول الله -صلى الله عليه وسلم- وهن مما
يُقرأ من القرآن"
Disebutkan oleh
Al Qattan dalam kitab mabahisr fi ulumil Qur’an bahwa Al Qodi Abu Bakar
berpendapat Nasakh yang demikian ini tidak dapat diterima, sebab keberadaan
jenis Nasakh ini ditentukan oleh khabar Ahad. Namun bagi al-Qattan sendiri berpendapat
bahwa penetapan Nasakh dan penetapan sesuatu sebagai bagian dalam Qur’an adalah
dua hal yang berbeda. Artinya dalam penetapan Nasakh cukup bisa dengan Khabar
ahad sedangkan sesuatu sebagai Qur’an harus dengan dalil qot’I atau khabar
Muatawatir.[18]
H. Nasakh Berpengganti Dan Tidak Berpengganti
1.
Nasakh badal/berpengganti
Di
lihat dari sisi penggantinya jenis Nasakh ini terdapat 3 macam yaitu :
a)
Nasakh dengan badal akhof (
pengganti yang lebih ringan )
b)
Nasakh dengan badal Mumatsil (
pengganti serupa )
c)
Nasakh dengan badal Atsqal (
pengganti yang lebih berat ).
2.
Nasakh tanpa Badal.
Jenis Nasakh ini
contohnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan kewajiban
bersedekah ketika hendak menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam QS.
Al-Mujadalah : 12 yang di Nasakh ayat 13
I. Hikmah adanya An-Nasakh Wa al-Mansukh dalam Al-Qur’an
Dari uraian di atas, maka dapatlah kita pahami bahwa kajian
Nasakh dan Mansukh memiliki hikmah yang teramat penting. Adapun hikmah tersebut
dapat kita petakan menjadi 2 macam yaitu hikmah secara umum dan hikmah secara
khusus yang merujuk pada jenis penggati hukumnya. Hikmah-hikmah tersebut adalah
:
Secara umum hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh adalah :
Membuktikan Bahwa Syariat Agama Islam adalah Syari’at yang sempurna, Memelihara
kepentingan hamba, Cobaan bagi mukalaf
untuk mengikuti ataupun tidak mengikuti, Sebagai bukti relevansi hukum syara’ di setiap
kondisi umat manusia, Kemudahan dan kebaikan bagi umat..
Secara khusus hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh di lihat dari
segi penggantinya adalah:
1. Nasakh tanpa pengganti memiliki hikmah untuk menjaga
kemaslahatan manusia. Sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan bersedekah
ketika menghadap Rasul.
2. Nasakh dengan badal seimbang, hikmahnya adalah menentukan hukum
baru sebagaimana yang terdapat dalam perintah untuk menghadap Baitul Maqdis
yang di Nasakh menghadap Ka’bah.
3. Nasakh dengan Badal Astqal hikmanya adalah untuk menambah
kebaikan dan pahala umat.
4. Nasakh dengan badal lebih ringan hikmanya adalah sebagai bentuk
dispensasi bagi umat manusia.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.Nasakh dapat di pahami sebagai hukum yang membatalkan atau
mengganti hokum yang telah terlebih dahulu disyari’atkan oleh Allah SWT.
Sedangkan Mansukh adalah hukum yang dibatalkan atau yang diganti.
2. Keberadaan nasakh dan mansukh dalam Al Qur’an adalah benar
adanya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh dalil Al Qur’an dan As- sunah.
3.Ilmu nasakh dan mansukh merupakan disiplin ilmu yang sangat
urgen sekali dalam menggali hukum-hukum Islam.
4.
Keberadaan Nasakh dan Mansukh
dapat di identifikasi dengan beberapa cara yang telah di tentukan oleh para
ulama, yang terdiri atas :
a. Terdapat keterangan yang
tegas dari Nabi atau sahabat.
b. Terdapat
kesepakatan ulama mana ayat yang Nasakh dan Mansukh
c. Diketahui dari sala satu
Nash mana yang pertama dan mana yang kedua.
5. Jenis Nasakh terdiri atas :
a. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an.
b.Nasakh
al-Qur’an dengan Sunah yang terbagi atas Qur’an dengan Hadis Ahad dan Qur’an
dengan Hadis Mutawatir
c. Nasakh Sunah dengan Qur’an
d. Nasakh Sunah dengan Sunah yang terdiri atas Mutawatir dengan
Mutawatir, Ahad dengan Ahad, Ahad dengan Mutawatir dan Mutawatir dengan Ahad
6. Adapun bentuk Nasakh yang terdapat dala al-Qur’an adalah terdiri
atas :
a. Nasakh Tilawah dan hukumnya sekaligus
b. Nasakh Hukum sedangkan Tilawahnya tetap
c. Nasakh Tilawah sedangkan Hukumnya tetap.
7. Keberadaan Nasakh dan Mansukh dalam al-Qur’an di lihat dari sisi
penganti hukumnya bisa di petakan menjadi tiga macam yaitu pertama dengan
pengganti yang setara (Amtsal ), kedua dengan pengganti yang lebih berat (
Astqol ) ketiga dengan pengganti yang lebih ringan ( Akhof ).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Manna’ Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an,
Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004
Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum
al-Qur’an, Maktabah Taufiqiyah, jilid 2
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung
: Mizan 1992,.
Djalal, H. Abdul,
Ulumul Qur’an, Surabaya : Dunia Ilmu, 1998
Ibn Syahin, Ustman Ma’ruf, an-Nasakh
wa al-Mansukh min al-Hadith, Beirut : Dar al-Kutub, 1992
Marzuki, Kamaluddin, Ulumul
Qur’an, Bandung : PT. Remaja Rosdakarria, 1992
Syadali, Ahmad, ulumul Qur’an,
Bandung : Pustaka Setia, 2000
Al-Syuyuthi, Abd. Rahman Djalaluddin,
al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Jus III, Kairo: Dar al-Turath, 1985
Isma’il Ibn Katsir, Tafsi al-Qur’an al-Azhim,jilid I
At-htobari, Muhammad Ibn Jarir . Al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. (Mesir
: Mustafa al-Baby al-Halaby. 1954)
[3]. Ibid
[4]. Manna’ Khalil
Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004, hal. 224.
[5]. ia adalah
Muhammad Ibn Abu Bakar, seorang tokoh mufassir dari Mu’tazilah. Kitabnya yang
menjadi master
peace-nya dibidang ini adalah al-Jami’ al-Ta’wil. Dia wafat pda
tahun 322 H. lihat Manna Qattan, Mabahits…..,hlm. 225.
[6]. Lihat M.
Rifa’I, Ushul
Fiqh. (Semarang : Wicaksana. 1991), hlm 154 – 155.
[7]. Quraish
Shihab, Membumikan
al-Qur’an, hlm 147.
[8]. Muhammad Ibn
Jarir al-Thabari. Al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. (Mesir
: Mustafa al-Baby al-Halaby. 1954) hlm 384.
[9]. Jalal al-Din
al-Syuyuti. Tafsir bi al-Ma’tsur, juz I (Beirut
: Dar al-Fikr. 1983( hlm 256.
[10]. Isma’il Ibn
Katsir, Tafsi
al-Qur’an al-Azhim,jilid I (Singapura : Sulaiman Mar’iy. Tth)
hlm 151
[11]. M. Quraish
Shihab, Tafsir
al-Mishbah ; Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an. (Jakarta Lentera
Hati. 2000) hlm. 276 – 277.
[12]. Muhammad
Husen al-Thabathaba’i, Al-Mizan. Jilid I (al-A’lam
Mathbu’at. 1991), hlm 252 – 253.
[13]. ibid. lihat
pula bukunya Husen al-Thabathaba’I yang berjudul Mengungkap Rahasia al-Qur’an, (Bandung
: Mizan. 1993). hlm. 60 – 62.
[14].Pengantar
studi Ilmu al Qur’an hal: 288
[15]
. Manna’ Khalil
Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004,
[16]
. Manna’ Khalil
Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004,
[17]. Fathul Bari
li Ibni Hajar Al Asqolani (maktabah samilah)
[18]
. Manna’ Khalil
Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an,