“Barangsiapa menyeru kepada hidayah (petunjuk) maka ia mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa yang mengerjakannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”

Sabtu, 18 Februari 2012

AN-NASAKH DAN AL-MANSUKH DALAM AL-QUR’AN-


AN-NASAKH DAN AL-MANSUKH
DALAM AL-QUR’AN
Oleh; Nehrun
A.    Pendahuluan
Al Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW., Ia merupakan panduan dasar bagi umat islam dalam menetapkan hukum Islam. Sebagai huda linnas al Qur’an memiliki kekayaan dimensi hukum, baik dalam hal sifat universalnya maupun bentuk pola-pola hukum syara’. Dalam kerangka itu, dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an yang di dalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, an nasakh wa al mansukh, dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.
An-Nasakh Wa Al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya seseorang akan mampu mamahami apakah hukum yang termaktub dalam ayat-ayat Al Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
Betapa pentingnya menguasai ilmu An-Nasakh Wa Al-Mansukh dalam suatu riwayat sahabat Ali bin Abi Thalib ketika melewati seorang hakim mengatakan: “apakah engkau mengetahui nasakh ?” dan orang itupun menjawab: “tidak”, maka Ali berkata “celakalah kamu dan mencelakakan orang lain”. Dari riwayat tersebut dapat dipahami  bahwa eksistensi An-Nasakh Wa Al-Mansukh dalam insinbath hokum adalah mutlak adanya, sebab dengan tidak memahaminya, hukum yang lahir akan jauh dari prinsip dasar penyariatan (maqosid asy-syariah).
B.     Pengertian An-Nasakh Wa Al-Mansukh
Secara etimologi nasakh dapat diartikan sebagai menghilangkan, membatalkan, menghapus, mengganti, menukar.  Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut :
v  Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah ;
رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي
 “Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”

v  Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy :
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
“mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian.[1]

       Para ulama mutakaddimin memperluas pengertian nasakh sehingga mencakup beberapa hal yaitu;[2]
a.       Pembatalan hukum yan ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c.       Penjelasan hukum yang datang kemudian terhadap hukum yang masih bersifat samar.
d.      Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang bersyarat.
Sedangkan adapun Para ulama muta’akhirin berpendapat nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang  kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahuku sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[3]
Pengertian Mansukh Secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang mengartikan “  الحكم المرتفع[4], yaitu “hukum yang diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum syara’ yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal antara lain : a). Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah).  b). Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59. c). Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.  d). Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan.

C.    Kontraversi  An-Nasakh dan Al-Mansukh dalam Al-Qur’an
Fokus pembahasan ini ialah mengenai Naskh al-Hukm Dan at-Tilawah, yaitu persoalan ada atau tidaknya perubahan hukum dari satu ayat dengan ayat lain, ketika ayat tersebut terpisah dalam proses al-Nuzul-nya.
Persoalan Nasikh dalam al-Qur’an ini, bermula dari pemahaman ayat ;
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
  Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. ”. (QS. al-Nisa ; 82).
Ayat ini mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak mempunyai perbedaan-perbedaan yang signifikan antara satu ayat dengan yang lainnya. Sementara di tempat lain, al-Qur’an mengatakan ;
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ .
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. al-Baqarah : 106).
Abu Muslim al-Asyfahani,[5] menolak anggapan bahwa ayat yang sepintas kotradiktif, diselesaikan dengan jalan nasikh-mansukh. Lantas ia, mengajukan proyek takhsis sebagai antitesa Nasikh-Mansukh. Menurutnya al-Qur’an adalah syari’ah yang muhkam, jadi tidak ada yang mansukh. “Tidak datang kepadanya kebatilan al-Qur’an baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS. al-Fushilat : 42). Artinya, jika sekiranya didalam al-Qur’an terdapat ketentuan yang telah di-nasakh, maka sebagian hukum ayat al-Qur’an juga akan dibatalkan. Sementara syari’at dalam al-Qur’an itu bersifat kekal. Karena ia berlaku sepanjang masa.
Fakhru al-razi dan Muhammad ‘Abduh, juga termasuk yang memandang bahwa istilah Nasikh-Mansukh tidak terdapat dalam al-Qur’an. Alasan mereka disandarkan pada ayat al-Qur’an “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu. Tidak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat –Nya”. (QS. al-Kahfi : 27).[6] Hanya kemudian, Muhammad ‘Abduh menggunakan istilah tabdil, penggantian, pengalihan, atau pemindahan ayat hukum ditempat ayat hukum yang lain, bukan nasakh dalam pengertian pembatalan.[7]
Sementara itu, sebagaian besar Ulama’ (jumhurul ulama’) berkeyakinan bahwa didalam al-Qur’an terdapat pembatalan hukum, Nasikh-Mansukh. Ibn Jarir menafsirkan ayat “dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya”, sebagai “Kami angkat ia, lalu Kami turunkan lainnya”.[8] Sedangkan al-Syuyuti mengartikannya sebagai “Allah menurunkan perkara dalam al-Qur’an kemudian mengangkatnya”.[9]
Ibn Katsir menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk menafikan Nasikh-Mansukh, karena ia menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja sesuai dengan keinginan-Nya.[10] Hal ini, pula ditegaskan oleh Quraish Shihab, bahwa Allah tidak me-nasakh dalam arti membatalkan suatu hukum yang dikandung oleh satu ayat, kecuali Allah akan mendatangkan ayat lain yang mengandung hukum lain yang lebih baik atau serupa.[11]
Berbeda dengan yang lain, al-Thabathaba’i mengatakan bahwa pertentangan antara dua Nash dalam Naskh pada dasarnya merupakan pertentangan lahiriah(ikhtilaf lafdziah), bukan pertentangan hakikiyyah (esensi). Alasan al-Thabathaba’i ini didasarkan pada al-Qur’an Surat al-Nisa ; 82.[12] Ia menegaskan Nasakh pada dasarnya bukan termasuk (yang terjadi karena) pertentangan dalam perkataan (qawl), dan ia juga tidak (terjadi karena) pertentangan (ikhtilaf) dalam pandangan hukum, melainkan terjadi karena pertentangan dalam mushdaq (kriteria) dari segi dapat diterapkannya hukum pada suatu hari, karena adanya mahslahat didalamnya. Dan dari segi tidak dapat diterapkannya pada suatu hari yang lain karena bergantinya kemashlahatan dari kemashlahatan yang lain yang mewajibkan hukum yang lain pula”.[13] Oleh karena itu, al-Thabathaba’i beranggapan bahwa nasakh pada dasarnya tidak hanya khusus terdapat pada hukum-hukum syari’at, melainkan juga dapat terjadi terhadap takwiniyyah (persoalan-persoalan kosmo).
D. Cara Mengetahui  An-Nasakh dan Al-Mansukh dalam al-Qur’an
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
1)   Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi SAW. atau Sahabat.
Contohnya :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها. Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
2)   Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
3)   Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.

E.  Urgensitas Al-Nasakh Wa al-Mansukh Dalam Kajian Hukum Islam
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ulama, terutama para fuqaha, mufassir dan ushul fiqh, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak atsar yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Seperti yang diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya: Apakah kamu mengetahui yang dari yang mansukh? “Tidak, jawab hakim itu. Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamu pun mencelakakan orang lain.”
Dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata tentang firman Allah “Dan barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah diberi kebajikan yang banyak. “ (Al Baqarah: 269), “yang dimaksud ialah (yang diberi ilmu tentang nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, muqoddam dan mu’akharnya serta haram dan halalnya.[14]
Terdapat alasan yang mendasar mengapa Al-Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah; a).Terkait status hukum Islam,  b). Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir dan fiqh terkait dalam proses istinbath Hukum,  c). Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan al-Qur’an,  d).Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri,  e). Salah satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad,  f). Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat.
F.  Macam Dan Jenis Nasakh
Para ulama membagi Al-Nasakh Wa al-Mansukh menjadi empat bagian:[15]
1.       Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Jenis Nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima. Contoh : Penghapusan kewajiban bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Mujadalah:12 yang di Nasakh ayat 13. Dan contoh lain adalah empat ayat tentang pengharaman khamar.
2.       Nasakh Al-Qur’an dengan As-Sunah
Nasakh jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu :
a.  Nasakh Al-Qur’an dengan Hadis Ahad.
Menurut Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini tidak diperbolehkan, sebab Qur’an adalah Muatawatir dan bersifat Qot’I sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni ( Dugaan ). Adalah tidak logis manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di hapus oleh sesuatu yang masih bersifat dugaan (Dzan).
b. Nasakh Qur’an dengan Hadis Mutawatir.
Menurut     Jumhur ulama’, Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, Nasakh jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di dukung dengan firman Allah SWT. Yang terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)
“dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya”).

Namun demikian, bagi Imam Asy-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis Nasakh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini di dukung firman Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat  Al-Baqarah:106; Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya ».

3.      Nasakh Sunah dengan Al Qur’an
Bagi Jumhur ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas keberadaan Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan as-Syura.

عن عائشة قالت: كان عاشوراء صياما, فلما انزل رمضان كان من شاء صام ومن شاء افطر (رواه بخارى ومسلم(

Artinya : dari Aisyah beliau berkata :” Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa”.

Sunah ini diNasakh oleh firman Allah yang terdapat dalam ayat 185 dari surat Al-Baqarah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.(QS;A-Baqarah:185)
Walaupun demikian menurut as-Syafi’I Nasakh jenis ini tidak dapat diterima juga, sebab antara Qur’an dengan sunah harus berjalan beriringan dan tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain bagi as-Syafi’i adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan Qur’an. Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya Nasakh menunjukkan adanya ketidak tepatan dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Hadis pada dasarnya sebagai penjelasan atas Qur’an.
4.    Nasakh Sunah dengan Sunah.
Jenis Nasakh ini terdapat 4 macam, yaitu : Mutawatir dengan Mutawatir, Ahad dengan Ahad, Ahad dengan Mutawatir, Mutawatir dengan Ahad. Bagi Jumhur ulama’ dari keempat nasakh tersebut tidak menjadi masalah menjadi bagian dari Nasakh dengan kata lain dapat diterima kecuali jenis yang ke empat yaitu Mutawatir dengan Ahad. 
Seperti Hadits :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.  Hadis ini Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.


G. Bentuk Nasakh Dalam al-Qur’an
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah jenis-jenis Nasakh di atas semuanya terdapat dalam al-Qur’an ataukah mengambil bentuk yang lain. Kiranya menjawab pertanyaan tersebut al-Qattan dalam bukunya Mabahis Fi Ulumil Qur’an membagi Nasakh dalam al-Qur’an dalam 3 macam, yaitu :[16]

1.      Nasakh Al Hukmi Wa Baqo’ At Tilawah
Yakni penghapusan pemberlakuan suatu hukum dengan tidak menghapus bacaannya atau teksnya tetap diabadikan dalam al qur’an
Contohnya  adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan larangan minuman keras secara bertahap.  
Ø  Tahap pertama khamar tidak haram  (An-Nahl; 67)
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًاإِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ.
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan”.
Ø  Tahap kedua khamar tidak haram (Al-Baqarah; 219)
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا  
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".  
Ø  Tahap ketiga khamar tidak haram hanya saja dilarang minum ketika mendekati waktu sholat (An-Nisa’; 43)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ..
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan….”
Ø  Tahap ke-empat khamar haram total (Al-Maidah; 90)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
" Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.

 Jadi, dari keempat ayat diatas, tiga ayat pertama telah dihapus hukumnya walaupun masih termaktub dalam Al-Qur’an dan dibaca. Adapun yang berlaku hanyalah ayat yang terakhir turun  yaitu bahwa khamar hukumnya haram secara mutlak.
2.      Nasakh At Tilawah Wa Baqa’ Al Hukmi
Yaitu penghapusan secara tekstual, tetapi tidak ada sedikitpun penghapusan hukum yang terkandung di dalamnya, atau dengan kata lain bahwa hukumnya masih tetap berlaku. Bentuk nasakh seperti ini dapat dicontohkan dengan pernyataan Umar bin Khathab yang mengatakan;”sekiranya aku tidak khawatir dituduh banyak orang bahwa aku telah menambah-nambahkan Al-Qur’an dengan yang tertulis di dalamnya, niscaya akan aku tuliskan ayat tentang hukuman rajam, dan menyertakan di didalam mushaf”. Seraya membacakan ayat:
"الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكالًا من الله، والله عزيز حكيم"
“Laki yang sudah menikah dan perempuan yang sudah menikah apabila mereka masing-masing berzina, maka rajamlah sampai mati, Sebagai hukuman dari Allah, dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”.[17]
Meski saat ini kita tidak menemukan ayat rajam dalam Al-Quran, namun dengan riwayat ini menunjukan  bahwa dahulu Allah SWT. telah mensyariatkan rajam di dalam Al-Quran. Adapun ayat yang memerintahkan rajam tersebut sudah terhapus secara lafadz, namun secara hukum dan esensinya tetap berlaku dan wajib dilaksanakan. Hal ini juga dikuatkan oleh apa yang dipraktekkan Rasulullah. Selama masa hidup Rasulullah SAW  sampai 3 kali beliau merajam pezina. Mereka adalahAsif, Maiz dan seorang wanita Ghamidiyah.
3.      Nasakh Tilawah Wa Al-Hukmi Jami’an
Yaitu Nasakh Tilawah (bacaan) beserta Hukumnya. Artinya keberadaan ayat dan hukumnya telah dihapus sehingga tidak dapat kita jumpai lagi dalam al-Qur’an. Jenis Nasakh ini menjadi debatable, sebab apakah mungkin hal yang demikian itu terjadi. Tentunya keraguan yang demikian itu adalah wajar, sebab bisa jadi keberadaan jenis Nasakh ini tereduksi dengan kepentingan tertentu. Namun demikian dalam literatur yang ada, pada dasarnya bentuk Nasakh ini merujuk pada Hadis riwayat Muslim dari Aisyah yang menyatakan bahwa :
"كان فيما أُنزل: عشر رضعات معلومات يُحرِّمن، فنسخن بخمس معلومات، فتوفي رسول الله -صلى الله عليه وسلم- وهن مما يُقرأ من القرآن"

Disebutkan oleh Al Qattan dalam kitab mabahisr fi ulumil Qur’an bahwa Al Qodi Abu Bakar berpendapat Nasakh yang demikian ini tidak dapat diterima, sebab keberadaan jenis Nasakh ini ditentukan oleh khabar Ahad. Namun bagi al-Qattan sendiri berpendapat bahwa penetapan Nasakh dan penetapan sesuatu sebagai bagian dalam Qur’an adalah dua hal yang berbeda. Artinya dalam penetapan Nasakh cukup bisa dengan Khabar ahad sedangkan sesuatu sebagai Qur’an harus dengan dalil qot’I atau khabar Muatawatir.[18]

H. Nasakh Berpengganti Dan Tidak Berpengganti
1.      Nasakh badal/berpengganti
Di lihat dari sisi penggantinya jenis Nasakh ini terdapat 3 macam yaitu :
a)      Nasakh dengan badal akhof ( pengganti yang lebih ringan )
b)      Nasakh dengan badal Mumatsil ( pengganti serupa )
c)      Nasakh dengan badal Atsqal ( pengganti yang lebih berat ).
2.      Nasakh tanpa Badal.
Jenis Nasakh ini contohnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan kewajiban bersedekah ketika hendak menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Mujadalah : 12 yang di Nasakh ayat 13

I.    Hikmah adanya An-Nasakh Wa al-Mansukh dalam Al-Qur’an
Dari uraian di atas, maka dapatlah kita pahami bahwa kajian Nasakh dan Mansukh memiliki hikmah yang teramat penting. Adapun hikmah tersebut dapat kita petakan menjadi 2 macam yaitu hikmah secara umum dan hikmah secara khusus yang merujuk pada jenis penggati hukumnya. Hikmah-hikmah tersebut adalah :
Secara umum hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh adalah : Membuktikan Bahwa Syariat Agama Islam adalah Syari’at yang sempurna, Memelihara kepentingan hamba,  Cobaan bagi mukalaf untuk mengikuti ataupun tidak mengikuti,  Sebagai bukti relevansi hukum syara’ di setiap kondisi umat manusia, Kemudahan dan kebaikan bagi umat..
Secara khusus hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh di lihat dari segi penggantinya adalah:
1.   Nasakh tanpa pengganti memiliki hikmah untuk menjaga kemaslahatan manusia. Sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
2.   Nasakh dengan badal seimbang, hikmahnya adalah menentukan hukum baru sebagaimana yang terdapat dalam perintah untuk menghadap Baitul Maqdis yang di Nasakh menghadap Ka’bah.
3.   Nasakh dengan Badal Astqal hikmanya adalah untuk menambah kebaikan dan pahala umat.
4.   Nasakh dengan badal lebih ringan hikmanya adalah sebagai bentuk dispensasi bagi umat manusia.













KESIMPULAN


Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.Nasakh dapat di pahami sebagai hukum yang membatalkan atau mengganti hokum yang telah terlebih dahulu disyari’atkan oleh Allah SWT. Sedangkan Mansukh adalah hukum yang dibatalkan atau yang diganti.
2. Keberadaan nasakh dan mansukh dalam Al Qur’an adalah benar adanya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh dalil Al Qur’an dan As- sunah.
3.Ilmu nasakh dan mansukh merupakan disiplin ilmu yang sangat urgen sekali dalam menggali hukum-hukum Islam.
4.   Keberadaan Nasakh dan Mansukh dapat di identifikasi dengan beberapa cara yang telah di tentukan oleh para ulama, yang terdiri atas :
a.  Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau sahabat.
b. Terdapat kesepakatan ulama mana ayat yang Nasakh dan Mansukh
c.  Diketahui dari sala satu Nash mana yang pertama dan mana yang kedua.
5. Jenis Nasakh terdiri atas :
a.    Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an.
b.Nasakh al-Qur’an dengan Sunah yang terbagi atas Qur’an dengan Hadis Ahad dan Qur’an dengan Hadis Mutawatir
c.    Nasakh Sunah dengan Qur’an
d.   Nasakh Sunah dengan Sunah yang terdiri atas Mutawatir dengan Mutawatir, Ahad dengan Ahad, Ahad dengan Mutawatir dan Mutawatir dengan Ahad
6.   Adapun bentuk Nasakh yang terdapat dala al-Qur’an adalah terdiri atas :
a.    Nasakh Tilawah dan hukumnya sekaligus
b.   Nasakh Hukum sedangkan Tilawahnya tetap
c.    Nasakh Tilawah sedangkan Hukumnya tetap.
7.   Keberadaan Nasakh dan Mansukh dalam al-Qur’an di lihat dari sisi penganti hukumnya bisa di petakan menjadi tiga macam yaitu pertama dengan pengganti yang setara (Amtsal ), kedua dengan pengganti yang lebih berat ( Astqol ) ketiga dengan pengganti yang lebih ringan ( Akhof ).













DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahnya
Manna’ Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004
Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Maktabah                             Taufiqiyah, jilid 2
Shihab, M. Quraish,  Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan 1992,.
Djalal, H. Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya : Dunia Ilmu, 1998
Ibn Syahin, Ustman Ma’ruf, an-Nasakh wa al-Mansukh min al-Hadith, Beirut : Dar al-Kutub, 1992
Marzuki, Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Bandung : PT. Remaja Rosdakarria, 1992
Syadali, Ahmad, ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2000
Al-Syuyuthi, Abd. Rahman Djalaluddin, al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Jus III, Kairo: Dar al-Turath, 1985
Isma’il Ibn Katsir, Tafsi al-Qur’an al-Azhim,jilid I  
At-htobari, Muhammad Ibn Jarir . Al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. (Mesir : Mustafa al-Baby al-Halaby. 1954)






[1] . Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, hal. 176
[2].Quraish Shihab,  Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : MIzan, 1992), Hal. 114


[3]. Ibid
[4]. Manna’ Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004, hal. 224.
[5]. ia adalah Muhammad Ibn Abu Bakar, seorang tokoh mufassir dari Mu’tazilah. Kitabnya yang menjadi master peace-nya dibidang ini adalah al-Jami’ al-Ta’wil. Dia wafat pda tahun 322 H. lihat Manna Qattan, Mabahits…..,hlm. 225.
[6]. Lihat M. Rifa’I, Ushul Fiqh. (Semarang : Wicaksana. 1991), hlm 154 – 155.
[7]. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm 147.
[8]. Muhammad Ibn Jarir al-Thabari. Al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. (Mesir : Mustafa al-Baby al-Halaby. 1954) hlm 384.
[9]. Jalal al-Din al-Syuyuti. Tafsir bi al-Ma’tsur, juz I (Beirut : Dar al-Fikr. 1983( hlm 256.
[10]. Isma’il Ibn Katsir, Tafsi al-Qur’an al-Azhim,jilid I (Singapura : Sulaiman Mar’iy. Tth) hlm 151
[11]. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah ; Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an. (Jakarta Lentera Hati. 2000) hlm. 276 – 277.
[12]. Muhammad Husen al-Thabathaba’i,  Al-Mizan. Jilid I (al-A’lam Mathbu’at. 1991), hlm 252 – 253.
[13]. ibid. lihat pula bukunya Husen al-Thabathaba’I yang berjudul Mengungkap Rahasia al-Qur’an, (Bandung : Mizan. 1993). hlm. 60 – 62.
[14].Pengantar studi Ilmu al Qur’an hal: 288
[15] . Manna’ Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004,  
[16] . Manna’ Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004,  
[17]. Fathul Bari li Ibni Hajar Al Asqolani (maktabah samilah)
[18] . Manna’ Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an,