“Barangsiapa menyeru kepada hidayah (petunjuk) maka ia mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa yang mengerjakannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”

Rabu, 31 Oktober 2012

MA’RIFATU MUSYKILI AL HADITS WA IKHTILAFIH

MA’RIFATU MUSYKILI AL HADITS
WA IKHTILAFIH*
Oleh; Nehrun Bafadhole

A.     Pendahuluan
Ilmu Mustholah hadits merupakan salah satu cabang ilmu hadits yang membahas mengenai kaedah-kaedah yang digunakan untuk mengetahui derajat hadits dan kondisi para perawinya. Kefahaman tentang ilmu ini mutlak dimiliki oleh orang yang berkecimpung dalam bidang hadits, karena ia menjadi langkah awal untuk membedakan hadits yang bisa dijadikan hujjah dari hadits-hadits lemah dan palsu.
Sebagai sebuah ilmu, Mustholah hadits telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan periwayatan hadits itu sendiri. Artinya, benih-benih ilmu ini secara alamiah telah muncul sejak zaman para shahabat sebagai generasi pertama perawi hadits. Akan tetapi dalam bentuk yang sistematis, ia baru dibukukan pertama kali –sebagaimana pendapat jumhur ulama hadits- oleh Ar Romahurmuzi dalam kitabnya: al-Muhaddits al-Fashil.[1] Dalam perkembangannya, Mustholah hadits semakin matang dan semakin tersistematiskan dengan jerih payah para ulama yang menulis dalam bidang ini, seperti: Abu Abdillah al-Hakim dalam Ma'rifat Ulum al-Hadits, Ibnu Sholah dalam al-Muqoddimah, Imam An-Nawawi dalam al-Taqrib dll. Walaupun demikian, pada kenyataanya, masih ada beberapa pembahasan yang belum final dikalangan ulama, terutama terkait dengan pendefinisian beberapa terminologi dalam ilmu Mustholah hadits. Salah satu diantaranya adalah: Musykil al-Hadits wa ikhtilafih.
B.     Definisi Musykil Al-Hadits Dan Mukhtalif Al-Hadits
Al-Musykil secara bahasa berasal dari kata"Syakala". Ibnu Faris berkata:"Kata syakala dalam kebanyakan bentuknya mengandung arti:"Mumatsalah" (persamaan), misalnya disebutkan:"Hadza Syaklu hadza", artinya: Ini sama dengan ini.[2]  Sedangkan dalam Lisan al-Arab disebutkan:"Asykala al-amru" artinya: "Masalah ini ambigu" (mempunyai lebih dari satu makna sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kekaburan).[3]  Hal yang sama disebutkan oleh para pakar bahasa seperti dalam al-Mu'jam al-Wasith,[4]  al-Qamus al-Muhith[5] dll.
Jadi, al-Musykil dalam bahasa arab bermakna: sesuatu yang ambigu, mempunyai lebih dari satu makna, dan menimbulkan kekaburan atau ketidakjelasan. Kemudian kata musykil digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang tidak jelas, baik karena mempunyai makna ganda ataupun karena sebab lain.[6]  Oleh karena itu, istilah Musykil al-hadits juga digunakan untuk menunjukkan hadits yang maknanya tidak jelas, atau menimbulkan multi tafsir.
Berdasarkan pengetahuan penulis terhadap buku-buku Mustholah karangan para ulama terdahulu, seperti: al-Muhaddits al-Fashil, Ma'rifat Ulum al-Hadits, Muqoddimah Ibnu Sholah, at-Taqrib, al-Ba'its  al-Hatsits dll, penggunaan istilah Musykil al-Hadits tidak dipakai dan disebut dalam jenis-jenis ilmu hadits. Yang mereka sebutkan adalah ilmu Mukhtalaf al-Hadits, yang berdasarkan definisinya yang mereka sebutkan bermakna: "Ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang secara zhahir saling bertentangan."[7]  Kemudian ketika menyebutkan contoh karangan dalam bidang tersebut, mereka menyebut kitab Musykil al-Atsar karangan Imam ath-Thohawi. Padahal kalau kita mempelajari kitab ini, maka akan kita dapati didalamnya terdapat hadits-hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain, akan tetapi maknanya menimbulkan multi tafsir, atau bertentangan dengan ayat al-Qur'an, sejarah ataupun fakta ilmiah.
Zainuddin al-Iraqi berkata: "Karangan dalam bidang Mukhtalaf al-hadits diantaranya adalah kitab karangan Muhammad bin Jarir ath-Thobari, juga kitab Muyskil al-Atsar karya ath-Thohawi.[8]
Jadi, jelaslah bahwa para ulama terdahulu memasukkan pembahasan hadits-hadits yang musykil dalam pembahasan Mukhtalaf al-hadits. Dan tentunya akan timbul sedikit kerancuan disini, karena ketika mereka memberikan definisi Mukhtalaf al-Hadits mereka hanya menyebutkan pertentangan suatu hadits dengan hadits yang lain, sedangkan hadits Musykil mempunyai makna yang lebih luas dari itu. Dalam hal ini, ternyata ulama-ulama muta'akhkhirin juga melakukan hal yang sama dengan menyamakan Mukhtalaf al-Haditsdan Musykil al-hadits, diantaranya adalah al-Shon'ani dalam kitab Taudhih al-Afkar, al-Mulla Ali al-Qari dalam Syarh Syarh al-Nukhbah, dan al Kattani dalam al-Risalah al-Mustathrofah. Al Kattani berkata ketika menyebutkan karangan-karangan dalam bidang hadits: "Dan diantaranya adalah kitab-kitab tentan Ilmu Mukhtalaf al-Hadits, atau anda bisa menyebutnya ilmu Ta'wil Mukhtalaf al-Hadits, atau Musykil al-hadits, atau Munaqhodhoh al-hadits." [9]
Mungkin, ulama yang pertama kali menyebutkan bahwa suatu hadits mungkin mempunyai makna yang tidak jelas dan menimbulkan tanda tanya –bukan sekedar bertentangan dengan hadits lain- adalah Imam Thohawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar. Beliau berkata: "Ketika saya meneliti hadits-hadits Rasulullah SAW yang shahih sanadnya, dan diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, saya menemukan hadits-hadits yang tidak diketahui maksud kandungannya oleh sebagian besar orang, maka sayapun tertarik untuk menelitinya, kemudian menyingkap tabir kemusykilannya dengan menjelaskannya, dan mengeluarkan hukum yang terkandung didalamnya."[10]
Disini kita lihat Imam Thohawi secara implisit menyebutkan tentang syarat-syarat hadits musykil, definisinya dan cara menghilangkan kemusykilannya. Adapun syaratnya adalah: hadits itu haruslah shahih sanadnya. Sedangkan definisinya menurut beliau adalah: hadits-hadits yang tidak diketahui kandungan maknanya oleh sebagian besar orang. Dan cara menghilangkan kemusykilan tersebut adalah dengan menelitinya dan menjelaskannya.
Adapun para ulama kontemporer yang menulis dalam bidang Mustholah hadits, secara umum mereka mempunyai dua pendekatan dalam masalah ini:
1.   Pendekatan pertama adalah menganggap istilah Mukhtalaf dan Musykil sebagai satu istilah yang sama maknanya. Kelompok ini kemudian terbagi menjadi tiga kategori:
a)     Sebagian menyamakan istilah Mukhtalaf al-Hadits dan Musykil al-hadits, dan menyebutkan satu definisi yang menjelaskan kedua istilah tersebut. Diantaranya adalah Dr. Nuruddin al-'Itthr yang mengatakan:"Mukhtalaf al-hadits, dan sebagian ulama menyebutnya: Musykil al-Hadits, yaitu: "Hadits yang secara zhahir bertentangan kaedah hukum syara', atau bertentangan dengan nash yang lain (baik al-Qur'an maupun As-sunnah) sehingga menimbulkan makna yang bias".[11]  Juga Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib yang mendefinisikannya dengan: "Ilmu yang mengkaji hadits-hadits yang secara zhahir saling bertentangan, maka kemudian disingkronkan supaya tidak lagi bertentangan, atau mengkaji hadits-hadits yang bertentangan dengan kaedah syari'ah atau nash lain (baik al-Qur'an maupun As-sunnah)sehingga menimbulkan makna yang bias ."[12]
b)     Sebagian ulama menganggap Musykil al-hadits adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain, tanpa menyebutkan pertentangannya dengan kaedah syariah atau nash al-Qur'an, seperti Syekh Abu Zahw.[13]
c)      Sebagian ulama sama sekali tidak menyebut istilah Musykil al-hadits dan cukup menyebutkan istilah Mukhtalaf hadits, seperti yang dilakukan oleh para ulama terdahulu. Diantara ulama dalam kategori ini adalah: Syekh Ahmad Syakir,[14]  Prof. Dr. Mahmud ath-Thohhan,[15] dan Dr. Ahmad Umar Hashim.[16]
2.   Sedangkan pendekatan kedua adalah membedakan antara kedua istilah tersebut, dan menjadikan Mukhtalaf hadits sebagai istilah yang khusus menunjukkan pertentangan hadits dengan hadits yang lain. Adapun Muyskil al-hadits merupakan istilah lain, yang kemudian mereka berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.
Dr. Musthofa Said al-Khinn mendefinisikannya sebagai: "Hadits yang secara zhahir menunjukkan makna yang bathil, karena bertentangan dengan nash Al-Qur'an, atau fakta ilmiah, atau karena mengandung tasybih (penyamaan) Dzat atau sifat Allah dengan makhluknya."[17]
Sedangkan Dr. Usamah Abdullah al-Khoyyath mendefinisikannya sebagai: "Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih yang secara zhahir maknanya menunjukkan hal yang mustahil, atau bertentangan dengan kaedah Syari'ah yang disepakati."[18]
Adapun Dr. Fathuddin al-Bayanuni mendefinisikannya sebagai: "Hadits-hadits shahih yang secara zahir bertentangan dengan dalil lain (al-Qur'an dan As-Sunnah), atau kaedah syara' dan akal, atau fakta sejarah dan fakta ilmiah."[19]
Definisi yang tepat dan penjelasannya
Dari definisi-definisi diatas kita dapati bahwa semuanya menunjukkan kepada penjelasan yang hampir sama, dengan beberapa perbedaan dalam menyebutkan sebab-sebab musykilnya suatu hadits. Secara lebih rinci, dari gabungan definisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa suatu hadits dikatakan musykil apabila ia: Merupakan hadits yang sahihSecara zhahir mempunyai makna yang tidak jelas, atau;Menunjukkan hal yang mustahil seperti penyamaan dzat dan sifat Allah, atau;Bertentangan dengan kaedah syara', atau;Bertentangan dengan akal, atau;Bertentangan dengan nash lain baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah, atau;Bertentangan dengan fakta ilmiah, atau;Bertentangan dengan fakta sejarah.
definisi yang paling tepat untuk Musykil al-hadits adalah: "Hadits shahih yang secara zhahir tidak jelas maknanya, atau bertentangan dengan syara', atau akal, atau dalil yang lain (baik Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma maupun Qiyas), atau dengan fakta ilmiah dan fakta sejarah."
Penjelasan dari definisi ini adalah sebagai berikut:
Ø    Hadits shahih: Dalam pembahasan Musykil al-hadits kita hanya menerima hadits hadits shahih saja, karena tujuan pembahasannya adalah untuk mengetahui makna yang benar dari hadits tersebut. Sedangkan hadits yang lemah atau palsu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, sehingga tidak ada artinya kita mentakwilkan atau menjelaskan kemusykilannya.
Ø    Secara zhahir: Syarat ini untuk menjelaskan bahwa terkadang hadits tersebut sebenarnya tidak musykil, akan tetapi karena ketidaktahuan orang yang membacanya membuatnya menjadi tampak musykil.
Ø    Tidak jelas maknanya: karena mempunyai kosa kata yang asing, atau karena terlalu umum dan tidak spesifik, atau karena mempunyai lebih dari satu makna yang memungkinkan terjadinya multi tafsir, sehingga perlu diketahui makna yang dimaksud dalam hadits tersebut, atau sebab yang lain.
Ø    Bertentangan dengan Syara', akal, dalil yang lain, dan fakta ilmiah dan fakta sejarah: ini adalah merupakan hal-hal yang mungkin bertentangan dengan hadits shahih secara zahir. Contoh-contoh untuk setiap hadits yang bertentangan dengan hal-hal diatas dapat kita temukan dalam kitab-kitab yang ditulis secara khusus untuk mengkaji hadits-hadits musykil.
Dari definisi yang telah penulis paparkan, maka terlihat dengan jelas bahwa Mukhtalaf al-Hadits seharusnya dibedakan secara terminologi dari Musykil al-Hadits, karena Musykil al-Hadits lebih umum dari Mukhtalaf al-Hadits. Jadi hubungan antara dua terminologi tersebut adalah: "keumuman dan kekhususan secara mutlak", karena semua hadits yang Mukhtalaf bisa dikategorikan sebagai Musykil, akan tetapi hadits yang Musykil belum tentu masuk dalam kategori Mukhtalaf.
Secara lebih detail, perbedaan antara keduanya bisa dipaparkan sebagai berikut:
a)     Dari segi bahasa, Musykil berasal dari kata "asykala" yang berarti ambigu atau mengandung makna yang tidak jelas, sedangkan Mukhtalaf berasal dari kata "ikhtalafa" yang berarti berbeda atau bertentangan.
b)     Dari segi sebab, suatu hadits dikategorikan sebagai Mukhtalaf apabila bertentangan dengan hadits shahih yang lain, sedangkan dalam Musykil al-Hadits, sebab pengkategoriannya adalah disebabkan oleh pertentangan hadits tersebut dengan dengan Syara', akal, dalil yang lain (baik Al-Qur'an, As-Sunnah) dan fakta ilmiah serta fakta sejarah.

C.      Sejarah Perkembangan Ilmu Musykil al-Hadits[20]
Fenomena "Isytisykal al-Hadits" (mempertanyakan makna suatu hadits) sebenarnya sudah ada sejak zaman Shahabat radhiallahu anhum. Dalam hal  ini bisa disebutkan contoh, dimana seorang shahabat bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam karena tidak memahami sabda tersebut. Dalam  shahih al-Bukhari diriwayatkan:
Dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Aisyah istri Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam apabila mendengar sabda Nabi yang ia tidak pahami maknanya,  selalu bertanya kepada Nabi. Suatu saat Nabi bersabda: "Barang siapa yang ditanya ketika dihisab, maka ia akan diazab." Maka Aisyah bertanya: "Bukankah Allah berfirman: "Maka ia akan dihisab dengan hisab yang mudah?" Maka Nabi bersabda: "Sesungguhnya ayat tersebut berkenaan dengan al-Ardh (yaitu salah  satu fase di hari kiamat dimana diperlihatkan kepada seorang mukmin catatan amalnya), akan tetapi barang siapa yang ditanya ketika dihisab, maka ia akan diazab. (HR. al-Bukhari)[21]
Dalam hadits tersebut, Aisyah ketika mendengar sabda Nabi bahwa semua orang yang dihisab akan diazab, beranggapan bahwa sabda tersebut bertentangan dengan ayat yang menunjukkan bahwa sebagian orang yang dihisab (yaitu orang mukmin), akan dihisab dengan hisab yang mudah. Maka kemudian Rasulullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah pada saat al-Ardh, yaitu ketika Allah memperlihatkan catatan amal seorang mukmin, dan menunjukkan dosa-dosanya, akan tetapi Allah mengampuninya. Sedangkan sabda Nabi tersebut khusus untuk orang-orang yang ditanya ketika dihisab, maka pasti dia akan diazab.[22]
Fenomena ini terus berlanjut di era shahabat dan para ulama sesudahnya. Hal ini wajar, selama motivasi orang yang bertanya tersebut betul-betul karena ingin memahami suatu hadits, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat negatif seperti menimbulkan keraguan terhadap hadits, atau mencari-cari masalah yang aneh yang susah dicari jawabannya dll.
Oleh karena itu, dalam sejarah periwayatan hadits dikenal "Istidrokat Aisyah 'ala al-Shahabah" (koreksi Aisyah terhadap riwayat shahabat)[23]  dimana Aisyah menyanggah beberapa riwayat shahabat dan menganggap bahwa telah terjadi kesalahan dalam periwayatan tersebut karena lupa atau kesalahan memahami nash.
Akan tetapi  setelah era shahabat, muncullah berbagai kelompok (thawaif) yang mempunyai pemahaman yang menyimpang dalam masalah aqidah dan syariah, maka kemudian para ulama ketika ditanya tentang suatu masalah, membedakan antara orang yang bertanya karena ingin mengetahui hukum yang sebenarnya, dan orang yang sengaja mencari-cari masalah dengan tujuan membuat orang ragu-ragu.
Dari sisi lain, dengan banyaknya kelompok-kelompok yang menyimpang tersebut, para ulama mulai menjawab syubhat-syubhat mengenai pemahaman beberapa hadits, dengan tujuan untuk menjelaskan kepada masyarakat hal yang sebenarnya. Maka dikenallah Imam Syafi'i sebagai orang yang pertama kali menuliskan buku untuk menjawab syubhat-syubhat yang berkembang di masyarakat mengenai hadits dalam bukunya "Ikhtilaf al-Hadits". Kemudian muncul ulama-ulama yang lain seperti Ibnu Qutaibah, Imam Thohawi dll.
D.     Contoh-contoh Hadits Musykil
para pengkaji musykil al-hadis memilah kemusykilan sebuah hadis menjadi empat hal yaitu karena, -diduga tidak sesuai dengan al-Qur`an. -diduga tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan. -diduga tidak sesuai dengan akal sehat, -diduga tidak sesuai dengan kenyataan.
Berikut ini adalah beberapa contoh hadits yang bisa dikategorikan sebagai hadits musykil:
1.      Hadits yang secara zahir bertentangan dengan al-Qur'an.
"Dari Jarir r.a, ia berkata: "Rasulullah s.a.w keluar bersama kami pada suatu malam purnama.Kemudian beliau bersabda: "Kalian akan melihat Tuhan kalian pada hari kiamat sebagaimana kalian melihat bulan ini, tanpa terhalang sesuatu pun”.[24]
Hadits ini menerangkan bahwa pada hari kiamat, orang-orang yang beriman akan dapat melihat Allah s.w.t. Secara zahir, ia bertentangan dengan firman Allah s.w.t dalam surat al-An'am ayat 103 yang menerangkan bahwa semua makhluk Allah tidak bisa melihat-Nya. Allah berfirman:
Artinya: "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui."[25]
Maka, para ulama pun menjelaskan maksud dari kedua dalil tersebut sehingga tidak timbul lagi kontradiksi antara keduanya. Diantaranya adalah pendapat Ibnu Abbas: "Di dunia, Allah tidak dapat dicapai oleh penglihatan makhluknya, akan tetapi di akhirat, orang-orang yang beriman bisa melihatnya, sesuai dengan penjelasan hadits tersebut."
2.      Hadits yang secara zahir bertentangan fakta ilmiah.
Salah satu contoh hadits yang dianggap bertentangan dengan fakta ilmiah dan ilmu pengetahuan adalah,  hadits riwayat Imam al-Bukhari:
Abu Hurairah r.a berkata: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w bersabda: "Tidak ada penyakit menular."[26]
Hadits ini menegaskan bahwa tidak ada penyakit menular, padahal secara ilmiah diketahi bahwa ada beberapa penyakit yang bisa berpindah dari seseorang ke orang lain. Maka para ulamapun menjelaskan makna hadits tersebut, salah satunya adalah Syekh Ahmad Syakir yang mengatakan:"Menurut saya pendapat yang paling kuat adalah yang diutarakan oleh Ibnu Sholah, bahwa suatu penyakit tidak bisa menular dengan sendirinya, akan tetapi Allah-lah yang menentukan bahwa berdekatan dengan orang yang berpenyakit menular akan membuat seseorang tertular, karena dimungkinkan ada sebab lain yang membuatnya sakit. Karena sesungguhnya telah  menjadi fakta dalam ilmu kedokteran modern, bahwa suatu penyakit bisa menular melalui mikroba yang dibawa oleh angin atau ludah atau yang lainnya."[27]
3. Pemahaman Hadis Musykil yang tampak tidak sesuai dengan Akal Sehat
“Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah di bumi-Nya, yang dengannya Ia salami makhluq-Nya yang Ia Kehendaki”
Ibn Qutaibah menyebutkan riwayah Ibn ‘Abbas tanpa memerinci sanadnya di bawah judul Hadis fi at-Tasybih. Ia mengemukakan :Kita mengatakan bahwa ini adalah tamsil dan perumpamaan. Asalnya adalah seorang raja jika menyalami seseorang, orang itu mencium tangannya. Maka Hajar Aswad tersebut seakan-akan bagi Allah memiliki kedudukan sebagai tangan Sang Raja untuk disalami dan dicium. Telah sampai kepadaku bahwa Aisyah berkata: Sesungguhnya Allah ketika melakukan perjanjian dengan bani Adam dan mempersaksikan-Nya kepada mereka; Tidakkah Aku Tuhanmu ?, Mereka mengatakan ;Ya  (Engkaulah Tuhan kami) dan mejadikan (tanda perjanjian) itu pada Hajar Aswad.
Menurut Ibn Furak yang dimaksud hadis Hajar Aswad tersebut adalah satu dari kenikmatan Allah atas hambanya, yang menjadikannya sebagai sebab yang membuat orang mukmin diberi pahala guna taqarrub kepada Allah dengan cara menyalaminya. Kita telah menjelaskan bahwa orang Arab menyatakan kenikmatan dengan tangan kanan atau penisbatan kepada Hajar Aswad tersebut merupakan bentuk penghormatan Allah kepadanya. Penghormatan tersebut merupakan fi’il (perbuatan)-Nya yang Ia sebut dengan “tangan kanan” dan menisbatkan tangan tersebut pada Diri-Nya serta memerintahkan orang-orang untuk menyalami dan menciumnya guna menampakkan kepatuhan mereka untuk taqarrub kepada Allah. Dengan begitu mereka memperoleh barakah dan kebahagiaan dari Allah.
Sedangkan Al-Muhibb ath-Thabari berpendapat maksudnya adalah semua raja jika menerima duta dan delegasi maka tangannya dicium. Dan ketika orang yang berhaji disunnahkan untuk mencium Hajar Aswad ketika datang (keKa’bah), maka Hajar Aswad menempati tempatnya raja secara perumpamaan. Wa li Allah al-masal al-a’la. Karenanya orang yang menyalami batu itu di sisi Allah seperti halnya janji setia dan kedekatan, sebagaimana seorang raja memberikan janji setia dengan cara menyalami.
Ibn Hajar dalam Fath al-Bari denganmengutip pendapat Al-Khaththabi menyatakan: maksudnya manusia memperoleh kedekatan di sisi Allah. Setelah menjadi kebiasaan bahwa janji setia dan kedekatan ditandai dengan cara berjabatan tangan antara seorang raja dengan orang-orang yang ingin mendapat tempat terhormat di sisinya atau diberi kekuasaannya.
Dari paparan di atas tampak bawah hadis ini dipahami dalam bentuk pengertian majaz bukan zahir. Penolakan terhadap makna majaz dan memengangi makna zahir jelas menghasilkan pengertian yang tidak masuk akal.
4. Pemahaman Hadis Musykil yang tampak tidak sesuai dengan Kenyataan
Ia (Nabi) menyebut bahwa seratus tahun kemudian pada saat itu tak ada di atas bumi orang yang masih Hidup”
Kemusykilan dalam hadis ini terletak pada peringatan bahwa sesudah seratus tahun sesudah nabi, tak ada lagi orang yang masih hidup. Pemahaman seperti ini memang wajar dari zhahir teksnya.   Hadis ini memang diriwayatkan oleh banyak rawi. Dengan melihat periwayatan hadis-hadis lain yang setema para ahli hadis menuntaskan kemusykilan hadis ini. Dari segi makna memang kita memahaminya merupakan suatu yang tidak sesui dengan kenyataaan, ini juga terjadi pada sebagian sahabat sebagaimana secara tersirat ditunjukkan oleh paparan Ibn Hajar : “Karena sebagian dari mereka mengatakan kiamat akan terjadi seratus tahun sebagaimana diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan yang lainnya dari hadis Abu Mas’ud al-Badri yang mana Ali (diketahui) menolak hal tersebut. Dan ibn Umar dalam hadis tersebut telah menjelaskan maksud nabi tersebut, yakni nabi bermaksud mengatakan bahwa “seratus tahun lagi semenjak ia menyabdakan, ketika abad itu lewat orang-orang yang ada saat perkataan itu disabdakan kelak sudah tidak ada lagi”. Demikianlah terbukti dengan adanya penelitian (istiqra’)bahwa orang yang diketahui hidup waktu itu adalah sahabat Abu at-Thufail, Ahli hadis telah bersepakat bahwa beliaulah sahabat yang terakhir wafat.
E.      Sebab–Sebab Hadits Mukhtalif

Ø  Faktor Internal Hadits (Al ‘Amil Al Dakhily)                                                                 Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Bisaanya terdapat ‘illat (cacat) didalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shohih.
Ø  Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy)                                                                             Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan haditsnya.
Ø  Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)                                                                       Yakni berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkn hadits-hadits yang mukhtalif.
Ø  Faktor Ideologi                                                                                                                    Yakni berkaitan dengan ideology suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang. [28]


F.      Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif
Untuk mengawali pembahasan tentang metode atau cara menyelesaikan hadîts mukhtalif, sengaja dikutip pernyataan Imam al-Syafi’iy sebagai peringatan yang tegas dalam memahami hadits-hadits mukhtalif, yaitu:
لا تجعل عن رسول الله حديثين مختلفين أبدا إذا وجد السبيل إلى أن يكونا مستعملين, فلا نعطل منهما واحدا لأن علينا في كل ما علينا في صاحبه, ولا نجعل المختلف إلا فيما يجوز أن يستعمل أبدا ألا بطرح صاحبه [29]  [30]
Peringatan ini disampaikan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasulullah menyampaikan ajaran Islam yang antara satu dengan yang lainnya benar-benar saling bertentangan. Jika ada penilaian yang menyatakan bahwa satu hadits dengan hadits lainnya saling bertantangan,
Dalam hal ini ada dua kemungkinan.Kemungkinan pertama, salah satu dari hadits tersebut bukanlah hadits maqbûl, melainkan hadits mardûd, baik do’îf maup- mawdhû, besarkemungkinanbertentangandengan hadits shahîh atau hasan.
 Kedua, karena pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju oleh hadits-hadits tersebut.[31]  Karena bisa saja masing-masing hadits tersebut memiliki maksud dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan menurut maksud masing-masing.
mengenai metode penyelesaian hadits-hadits mukhtalif, ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian dengan cara nasakh dan penyelesaian dengan cara tarjîh. Di mana ketiga cara tersebut dilakukan dengan berurutan. Artinya jika cara pertama tidak menemukan jalan keluar, maka ditempuh cara kedua, jika cara kedua belum juga diperoleh solusi, maka ditempuh cara ketiga. Berikut penjelasan lebih lanjut:
1.     Metode al-Jam’u (penggabungan atau pengkompromian)
Adapun yang dimaksud dengan metode kompromi dalam menyelesaikan Hadîts mukhtalif ialah menghilangkan pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masingnya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang tepat yang menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya.Metode al-jam’u ini tidak berlaku bagi hadits–hadits dlaif ( lemah ) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih. Untuk menemukan benang merah antara kedua Hadîts yang saling bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan empat cara, yaitu:-Menggunakan Pendekatan Kaedah Ushûl, - Pemahaman Kontekstual (sababu al wurud), - Pemahaman Korelatif, - dan Menggunakan Cara Ta’wîl.
Sebagai contoh penulis paparkan hadist yang Penyelesaianya berdasarkan pemahaman dengan menggunakan pendekatan kaedah ushul. yaitu Hadîts tentang mengambil upah dari jasa berbekam:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي نُعْمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ وَعَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ
Hadîts ini melarang mengambil upah dari jasa berbekam, kemudian hadis lain menyebutkan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَكَلَّمَ أَهْلَهُ فَوَضَعُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ وَقَالَ إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ أَوْ هُوَ مِنْ أَمْثَلِ دَوَائِكُمْ ِ
Hadîts ini menunjukkan bahwa bahwa Rasulullah pernah berbekam yang dilakukan oleh Abu Thaibah kemudian ia diberi upah oleh Rasulullah. Hadîts pertama dikeluarkan oleh al-Nasâ’iy, Hadîts kedua dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab yang sama. Di lihat dari sisi redaksi antara pertama dan kedua nampak saling bertentangan. Hadîts pertama menjelaskan adanya larangan mengambil keuntungan dari berbekam yang sekaligus menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram. Para ulama mencoba memahami pertenatangan tersebut dengan menggunakan pendekatan muthlaq dan muqyyad.Haramnya kasb al-hajâm merupakan suatu yang muthlaq, kemudian dibatasi oleh adanya qârinah untuk mengambil manfaat dari orang lain karena Rasullullah melakukannya.[32]  Adanya qarinah menjadikan kasb al-hâjam tidak lagi haram akan tetapi makruh.
2.     Metode Nasikh Mansukh
Jika ternyata hadits tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh metode naskh-mansukh (pembatalan).[33] Maka akan dicari makna hadits yang lebih datang dulu dan makna hadits yang datang belakangan. Otomatis yang datang lebih awal dinaskh dengan yang datang belakangan.
Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode naskh-mansukh adalah hadits tentang hukum makan daging kuda:
à    أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ

à    حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.
Dua hadits di atas terlihat saling bertantangan, hadits pertama bersisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadits kedua menunjukkan kebolahan memakan daging kuda. Pertenatangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadits pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadits Jâbir Ibn Abdallah yang datang setelahnya.

3.     Metode Tarjih
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana diantara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Sebagai contoh, adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di Neraka. Sebagai contoh adalah hadits berkut ini:
الوائدة والموؤودة في النار
“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (HR Abu Dawud)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (asbabul wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “ Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan Jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dulu ia pernah mengubur saudara perempuanku hidup-hidup di zaman Jaihliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di Neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh imam Ibnu Katsir.[34]
Hadits tersebut dinilai mukhtalaf dari sisi matan dan musykil dengan Al Quran surat al Takwir :
 وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (9)
Artinya ; dan apabila bayi – bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.(QS. At-Takwir: 8-9)
Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke Neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke Neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, langkah yang diambil adalah dengan mentarjih. sehingga hadits tersebut menjadi marjuh meskipun sanadnya hasan, karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat derajatnya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al-Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk Surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad SAW akan masuk Surga, orang yang mati syahid juga akan masuk Surga, anak kecil juga akan masuk Surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk Surga. (HR. Ahmad.) kerojihan riwayat ini diperkuat oleh hadits yang mengatakan bahwa setiap bayi itu lahir dlam keadaan suci lagi fitroh.
G.     Kitab Terkait Ma’rifatu Musykili Al Hadits Wa Ikhtilafih
Berikut ini adalah beberapa kitab penting yang bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui hadits-hadits yang musykil dan mukhtalif dan cara menjelaskan atau mentakwilkannya. Diantaranya adalah:
a.       Kitab "Ikhtilaf al-Hadits" karangan Imam Al-Syafi'i
b.      Kitab "Ta'wil Mukhtalaf al-Hadits" karya Ibnu Qutaibah
c.       Kitab "Musykil al-Atsar" karya Ath-Thohawi
d.      Kitab "Kasyf al-Musykil Min hadits ash-Shohihain" karya Ibnul Jauzi
e.       kitab “Musykil al-Hadits Wa Bayanuhu” karya Imam al-Muhaddits Abu bakar Muhammad ibn al-Hasan (ibn Furak) al-Anshariy al-Ashbahaniy (406 H)
H.    penutup
Tidak dapat dipungkiri lagi adanya hadis-hadis yang musykil dan hadits-hadits yang mukhtalif. Namun, untuk memahami hadis-hadis tersebut perlu adanya kerangka pemahaman berdasarkan kajian yang dilakukan oleh ulama sebagaimana telah penulis uraikan di atas. Berbagai problema di seputar hadis-hadis musykil dan mukhtalif serta cara memahaminya (penyelesaiannya) dapat dijadikan pedoman untuk memahami hadis-hadis musykil dan mukhtalif.



Referensi

Makatabah Syamilah Dan Buku Scan Dalam Bentuk PDF
Ahmad bin Harits bin Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughah (Beirut: Ittihad al-Kuttab al-'Arab, 2002).
Nuruddin al-Itthr, Manhaj Al-Naqd Fi Ulum Al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, cet.3, 1997).
Ahmad Muhammad al-Samahi, Al-Manhaj Al-Hadits Fi Ulum Al-Hadits.
Ahmad Umar Hashim, Qowaid Ushul al-Hadits (Beirut: Alam al-Kutub, cet.2, 1998).
Al-Thohawi, Bayan Musykil al-Atsar.
Fathuddin al-Bayanuni, Musykil Al-Hadits, Isykaliyah Al-Mustholah Wa Tarikh Al-Nasy'ah, Journal of Islam in Asia, International Islamic University Malaysia, Vol. 2, Juli 2005.
Ibrahim Anis dkk, Mu'jam al-Wasith (Dar al-Dakwah, Cet.1).
Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits Wa Al-Muhadditsun.
Muhammad Ahmad al-Thohhan, Taisir Mustholah Al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet. 7, 1985).
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadits, Ushuluh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, Cet.1, 1989).
Muhammad bin Ibrahim bin Jama'ah, al-Manhal al-Rawi (Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 2, 1406).
Muhammad bin Ja'far al-Kattani, Al-Risalah al-Mustathrofah li bayan masyhur kutub al-Sunnah al-Mushonnafah (Beirut: Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, cet: 4, 1986).
Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Ifriqi, Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, Cet.1).
Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits al-Syarif.







* Makalah ini disusun oleh Nehrun Bafadhole dan dipresentasikan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Al-Hadits Wa Ulumuh pada program pascasarjana Ilmu Tafsir INTITUT PTIQ Jakarta 2012.
[1]  Muhammad bin Ja'far al-Kattani, Al-Risalah al-Mustathrofah li bayan masyhur kutub al-Sunnah al-Mushonnafah (Beirut: Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, cet: 4, 1986).
[2]  Ahmad bin Harits bin Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughah (Beirut: Ittihad al-Kuttab al-'Arab, 2002), jilid: 3.
[3]  Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Ifriqi, Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, Cet.1)
[4]  Ibrahim Anis dkk, Mu'jam al-Wasith (Dar al-Dakwah, Cet.1) jilid: 1.
[5]  Al-Faizurabadi, al-Qamus al-Muhith, jilid: 2.
[6]  Abdullah bin Muslim al-Dinauri, Ta'wil Musykil al-Qur'an.
[7]  Sebagai contoh, lihat: Muhammad bin Ibrahim bin Jama'ah, al-Manhal al-Rawi (Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 2, 1406), 
[8]  Zainuddin Abu al-Fadhl Abdur Rahim al-Iraqi, Syarh at-Tabshirah wa al-Tazkirah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 2002), 
[9]  Muhammad bin Ja'far al-Kattani, al-Risalah al-Mustathrafah (Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyah, cet. 4, 1986), 
[10]  Al-Thohawi, Bayan Musykil al-Atsar, jilid: 1.
[11]  Nuruddin al-Itthr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, cet.3, 1997)
[12]  Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadits, Ushuluh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr,1989)
[13]  Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun.
[14]  Ahmad Syakir, Syarh Alfiyah al-Suyuthi (Beirut: Dar al-Ma'rifah)
[15]  Muhammad Ahmad al-Thohhan, Taisir Mustholah al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet. 7.
[16]   Ahmad Umar Hashim, Qowaid Ushul al-Hadits (Beirut: Alam al-Kutub, cet.2, 1998).
[17]  Musthofa al-Khin, al-Idhoh fi Ilmi Ulum al-Hadits wa al-Mustholah 
[18]  Usamah Abdullah al-Khayyath, Mukhtalaf al-Hadits baina al-Muhadditsin wa al-Ushuliyyin wa al-Fuqaha (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. 1, 2001).
[19]  Fathuddin al-Bayanuni, Musykil al-Hadits, Isykaliyah al-Mustholah wa Tarikh al-Nasy'ah, Journal of Islam in Asia, International Islamic University Malaysia, Vol. 2, Juli 2005.
[20] http://www.almeshkat.net
  [21] فأخرج البخاري بسنده إلى ابن أبي مليكه أن عائشة زوج النبي r ورضي الله عنها كانت لا تسمع شيئاً لا تعرفه إلا راجعت فيه حتى تعرفه، وأن النبي قال: "من حوسب عذب"، قالت عائشة رضي الله عنها فقلت: أوليس يقول الله تعالى: }فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَاباً يَسِيراً{ (الانشقاق: 8)، قالت: فقال: "إنما ذلك العرض؛ ولكن من نوقش الحساب يهلك"
[22]  Penjelasan lebih lengkap mengenai masalah ini dapat dilihat di: Ibn Hajar al-Asqolani, Fath al-Bari, Juz: 14
[23]  Imam al-Zarkasyi telah mengumpulkanistidrokat tersebut dalam sebuah buku berjudul:al-Ijabah li iradi ma istadrakathu 'Aisyah  ala al-Shahabah, diterbitkan oleh al-Maktab al-IslamiBeirut tahun 1939.
[24]  Hadits Muttafaq alaih.
[25]  Surat al-An'am ayat 103
[26]  H.R. al-Bukhari
[27]  Ahmad Syakir, al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtisha Ulum al-Hadits, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Lebanon, Cet. 2
[28]  Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits(Yogyakarta : Idea Press, 2008).
[29]  Muhammad Ibn Idris al-Syafi’iy, al-Umm, (Bairût, Dâr al-Fikr, 1983) Cet Ke-3, Jilid VII.
[30] Artinya; “Jangan mempertentangkan hadits Rasulullah satu dengan yang lainnya, apabila mungkin ditemukan jalan untuk menjadikan hadits - hadits tersebut dapat sama-sama diamalkan. Jangan tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya kewajiban untuk mengamalkan keduanya. Dan jangan jadikan hadits - hadits bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan salah satu darinya.”
[31]  Edi Safri, al-Imam al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), 
[32] Badrân Abu al-‘Ainain Badrân, Adllah al-Tasyrî’ al-Muta’âridhah wa Wujuh al-Tarjîh bainahâ, (al-Iskandariah: Muassah al-Syiariy al-Jâmi’ah, 1985).
[33] Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al–izalah), bisa pula berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan oleh syari’ (pembuat syariat; yakni Allah dan Rasulullah) terhadap ketentuan hukum syariat yang datang lebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang belakangan.
[34]  Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adhlabi, Manhaj Naqd al Matan ‘inda Ulama al Hadits al Nabawi,(Beirut : Dar al-fikr al-Jadidah, 1983)