Konsep Harta
Dalam Al-Qur'an
Oleh; Nehrun bafadhole
Pendahuluan
Al-Qur'an merupakan wahyu
Allah Ta'ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang
seluruh isinya adalah sumber kebenaran. Di dalamnya terkandung berbagai
penjelasan yang berkenaan dengan seluruh segi kehidupan manusia. Dari
masalah-masalah peribadahan (Ubudiyah) hingga masalah muamalah antara
seorang hamba dengan hamba lainya.
Dalam masalah muamalah, Al-Qur'an memberikan Qawa'id
Al-'Ammah (kaidah-kaidah umum) agar manusia dapat mengembangkan berbagai
transaksi yang terjadi di antara mereka. Di antara pokok pembahasan
bidang muamalah yang sangat urgen adalah mengenai harta.
Harta menjadi masalah sentral dalam kehidupan manusia.
Al-Qur’an menyebut kata al-mal (harta) tidak kurang dari 86 kali.
Penyebutan berulang-ulang terhadap sesuatu di dalam al-Qur’an menunjukkan
adanya perhatian khusus dan penting terhadap sesuatu itu. Harta merupakan
bagian penting dari kehidupan yang tidak dipisahkan dan selalu diupayakan oleh
manusia dalam kehidupannya terutama di dalam Islam.
Setiap manusia memerlukan adanya harta, ia adalah penopang bagi
kehidupan di dunia. Selain itu ia juga menjadi penolong sekaligus beban bagi
para pemiliknya di akhirat kelak. Tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan
harta. Bahkan seseorang rela pergi pagi pulang petang hanya untuk mendapatkan
harta. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan nyawa melayang hanya karena
memperebutkan harta. Harta adalah cobaan (fitnah) bagi manusia (QS
Ath-Taghaabun : 15), dengan harta seseorang bisa masuk surga dan dengan harta
pula seseorang dapat terjerumus ke dalam neraka.
Lantas, bagaimana eksistensi harta menurut perspektif Al-Qur'an ?
Makalah ini berusaha untuk merangkum pandangan Al-Qur'an terhadap harta (kajian
Tafsir Tematik). Ternyata eksistensi harta dalam perspektif Al-Qur'an tidak
sekadar alat pemuas kebutuhan hidup, lebih dari itu ia
adalah wasilah yang telah Allah ta'ala ciptakan yang bisa
menjadi nikmat atau laknat bagi para hambaNya.
Pengertian harta
Harta dalam bahasa Arab disebut المال (al-mal), bentuk plural atau jama'nya
adalah الأموال (al-amwal)
menurut etimologi kata al-mal berarti condong, miring dan juga
berpaling.[1]
Hal ini seperti disebutkan dalam Al-Qur'an Surat An-Nisaa ayat 27 dan Ayat 129.
Sedangkan
harta menurut terminology yaitu:
"Segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan
atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dapat dimanfaatkan”.[2] Definisi ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, dalam definisi ini
tersirat bahwa manfaat tidak termasuk harta, karena manfaat termasuk milik.
Adapun definisi selanjutnya diberikan oleh Jumhur Ulama:
كل ما له قيمة يلزم متلفها بضمانه
“Segala sesuatu yang mempunyai nilai dan dapat dikenakan ganti
rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya”.[3]
المال هو كل عين ذات قيمة مادية بين الناس
“Harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai materi di
kalangan masyarakat”.
Lalu, bagaimana sebenarnya eksistensi harta menurut perspektif
Al-Qur'an ? apakah manusia bebas melakukan apa saja dengan harta yang
dimilikinya ? bagaimana aturan-aturan Al-Qur'an mengenai hal ini ?. Makalah ini
menggunakan kerangka tafsir maudhu'i, diharapkan dengan metode ini
permasalah harta dalam perspektif Al-Qur'an menjadi jelas.
I. Harta sebagai Fitnah (ujian) bagi manusia : Tafsir Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 155
ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات
وبشر الصابرين
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. QS Al-Baqarah ayat 155.
Ayat ini menyebutkan mengenai harta sebagai salah satu ujian bagi
manusia, Allah ta'ala memberikan karuniaNya berupa harta, tidak hanya
sebagai anugerah namun juga sebagai bala' (ujian), untuk mengetahui
apakah hambaNya termasuk orang-orang yang bersyukur atau termasuk orang
yang kufur.
Kalimat ولنبلونكم
بشيء memberikan informasi kepada kita bahwa Allah ta'ala
akan memberikan bala kepada manusia. Makna bala dalam
konteks ini adalah cobaan, ujian dan hal-hal yang tidak disukai oleh manusia,
baik itu berupa rasa takut, khawatir, kelaparan dan kekurangan harta benda.
Semua itu adalah bagian dari bala yang Allah ta'ala berikan bagi
setiap manusia agar mereka semakin yakin bahwa Dia maha kuasa atas
mereka.
Dalam ayat yang lain dikatakan bahwa
Allah ta'ala benar-benar menjadikan harta sebagai ujian :
إنما أموالكم وأولادكم فتنة والله عنده أجر عظيم
“Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian hanyalah cobaan (bagi
kalian) di sisi Allah-lah pahala yang besar”. QS Ath-Taghaabun : 15. Penekanan dari cobaan berupa
anak dan harta ditegaskan kembali dalam firmanNya surat Al-Anfal ayat 28.
Fitnah harta sering kali tidak dapat dirasakan oleh para
pemiliknya, maka pengulangan ayat yang senada tersebut merupakan peringatan
bagi orang-orang yang dianugerahi harta olehNya.
Dalam ayat yang
lainnya disebutkan :
لتبلون في أموالكم وأنفسكم ولتسمعن من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم
ومن الذين أشركوا أذى كثيرا وإن تصبروا وتتقوا فإن ذلك من عزم الأمور..,
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan diri kalian. Dan
(juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab
sebelum kalian dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang
banyak yang menyakitkan hati. Jika kalian bersabar dan bertakwa, maka
sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. QS Ali Imran ayat 186.
Ayat ini menyebutkan bahwa ujian itu bisa dalam bentuk banyaknya
harta, sehingga banyak di antara manusia yang memiliki banyak harta justru
semakin menjauhkan dirinya dari jalan Allah ta'ala. Sebaliknya jika
sang pemilik harta bersabar dan dapat menggunakan hartanya dengan
sebaik-baiknya maka kebahagiaanlah yang akan ia dapat.
Dari beberapa ayat di atas secara jelas menunjukan kepada kita
bahwa harta itu adalah sebagai salah satu ujian bagi seorang hamba. Hal ini
diperkuat oleh hadits Nabi yang menyebutkan bahwa fitnahnya umat Islam adalah
harta:
عَنْ كَعْبِ بْنِ عِيَاضٍ قَالَ سَمِعْت النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي
الْمَالُ (قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ)
Dari Ka'ab bin 'Iyyadh telah berkata, aku mendengar Nabi
bersabda "Sesungguhnya bagi setiap umat ada fitnah (ujian) nya
dan fitnah bagi umatku adalah masalah harta".[4]
'Adnan Ath-Tharsyah menyatakan bahwa para
pemilik harta tidaklah gembira dan selamat dari segala masalah, akan tetapi dia
juga akan mendapatkan berbagai masalah dengan harta dalam kehidupannya, karena
ujian tidak hanya berupa kejelekan akan tetapi juga bisa berupa kebaikan,
sebagaimana firmanNya :
كل نفس ذائقة الموت ونبلوكم بالشر والخير فتنة وإلينا ترجعون
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kamilah kamu dikembalikan. QS Al-Anbiya ayat 35.[5]
Demikianlah harta pada dasarnya bagai pisau belati bermata dua, ia
bisa bermanfaat bila digunakan di jalan kebaikan dan bisa menjadi adzab bila
pemiliknya membelanjakannya bertentangan dengan syari'ahNya.
Harta akan menjadi sebuah nikmat ketika dimanfaatkan oleh
orang-orang shalih sebagaimana Sabda Nabi :
نعم المال الصالح للمرء
الصالح . رواه أحمد
Sebaik-baik harta adalah yang ada pada seorang yang Shalih. HR
Ahmad.[6]
Ibnu Abbas berkata dalam Tafsirnya bahwa makna dari kata ونقص من الأموال adalah hilangnya harta.[7] Hal
ini seperti juga disebutkan Ibnu Katsir yang menyebutkan dalam
tafsirnya bahwa Allah ta'ala memberikan cobaan, serta ujian kepada
hamba-hambanya berupa kekurangan harta benda serta rasa takut terhadap musuh,
sebagaimana firmanNya :
{ فأذاقها
الله لباس الجوع والخوف }
“Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan
ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. QS An-Nahl 112.
Kelaparan karena kurangnya harta dan ketakutan adalah sebuah ujian
yang tampak nyata di hadapan mereka, dalam makna lain bahwa mereka akan melihat
kelaparan sebuah sesuatu yang menyakitkan. Sedangkan orang-orang yang beriman
meyakini bahwa hal ini adalah sebuah cobaan dari Allah.
Lafadh (ونقص
من الأموال والأنفس والثمرات ) berarti hilangnya atau berkurangnya
harta benda mereka.[8]
Sementara itu Abu Bakar bin Jabir Al-Jazairy dalam Aisar
At-Tafasir menyebutkan makna dari kalimat ولنبلونكم yaitu Allah ta'ala memberikan
ujian dan cobaan kepada para hambaNya agar dapat diketahui siapa yang termasuk
orang-orang yang lemah dan orang-orang yang kuat imannya.[9]
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa'dy dalam tafsirnya menyatakan mengenai
lafadz ونقص
من الأموال yaitu kekurangan harta yang mencakup segala bentuk
kekurangan harta seperti kehilangan, tenggelam, diambil secara paksa oleh
penguasa, dirampok dan lain sebagainya.[10]
Makna ولنبلونكم bisa
juga bermakna Al-Ibtila' atau ujian, yang berupa rasa takut terhadap
musuh dan kelaparan karena kekurangan harta benda dikarenakan terjadinya perang
yang mengakibatkan berkurangnya jumlah manusia meninggalnya anak-anak dan
kerabat, semua itu adalah ujian dari Alllah ta'ala bagi manusia agar
menjadi jelas mana orang yang beriman dan mana orang yang ingkar.
Khitab dalam ayat ini adalah para shahabat Nabi, namun ayat
ini berlaku umum pada seluruh umat Islam. Di akhir ayat ini Allah memberikan
kabar gembira bagi orang-orang yang sabar, yaitu orang yang apabila tertimpa
musibah mereka bersabar.
Beberapa
hukum yang dapat diambil dari ayat ini adalah bahwa harta sebagai amanah yang
diberikan oleh Ar-Razaq terkadang menjadi bala' bagi kita,
bisa karena kekurangan harta, atau kelebihan harta yang tidak digunakan sesuai
dengan syariatNya. Agar harta tersebut menjadi sebuah karunia yang bermanfaat
bagi kita baik di dunia maupun di akhirat maka kita harus melaksanakan hak-hak
dari harta tersebut, seperti mengeluarkan zakat serta berinfak dengannya.
Selain itu, ujian dengan adanya harta dapat dijadikan sarana untuk
melaksanakan semua syariahNya. Hal ini dilakukan dengan cara pengelolaan harta
secara sistematis dalam bingkai syariah Islam.
II. Larangan memakan harta orang lain secara batil (tidak
benar) : Tafsir
Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 188
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا
فريقا من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kalian dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian
mengetahui”. QS Al-Baqarah
ayat
188
Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa asbab
An-nuzul ayat ini adalah seperti yang diketengahkan oleh Ibnu Abi Hatim
dan Sa'id bin Jubair, katanya " Umru-ul Qeis bin 'Abis dan Abdan bin
Asywa' Al-Hadrami terlibat dalam salah satu pertikaian mengenai tanah mereka,
hingga Umru-ul Qeis hendak mengucapkan sumpahnya dalam hal itu. Maka mengenai
dirinya turunlah ayat "Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil" QS Al-Baqarah
ayat 188.[11]
Lafadh الباطل dalam
ayat ini adalah lawan dari Al-Haq (kebenaran), ia bermakna segala
sesuatu yang tidak sesuai daengan syariah Islam, baik berupa mengambil harta
orang lain, memanipulasi dalam perdagangan, melakukan praktek riba dan hal-hal
lainnya yang dilarang oleh Islam. Adapun yang dimaksud dengan تدلو adalah memberikan kepada hakim uang suap untuk
menyelesaikan perkaranya dengan cara yang batil hingga sampailah apa yang
diharapkan yaitu mengambil harta orang lain. Sedangkan lafadh بالإثم adalah dengan cara menyuap, persaksian
palsu dan sumpah palsu agar hakim dapat memutuskan perkaranya dengan cara yang
batil walaupun kelihatannya benar.[12]
Ayat ini secara khusus menyebutkan mengenai haramnya memakan harta
sesama muslim dengan cara yang tidak dibenarkan syariat Islam Karena
sesungguhnya setiap manusia yang telah bersyahadat, darah, harta dan
kehormatanya haram untuk dilanggar. Dalam ayat yang lain juga secara tegas
dikatakan:
ياأيها الذين ءامنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون
تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. QS An-Nisaa ayat 29.
Pelarangan memakan harta dalam ayat di atas masih bersifat umum,
sehingga ada beberapa ayat lain yang mengkhususkan pada satu sisi
lainnya, seperti larangan untuk memakan harta anak yatim secara
batil:
إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما يأكلون في بطونهم نارا
وسيصلون سعيرا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). QS An-Nisa’ ayat 10.
Kekhususan haramnya memakan harta anak yatim menunjukan keharaman
yang lebih keras manakala pemilik harta yang kita ambil adalah orang-orang yang
lemah.
Sementara hadits Nabi banyak sekali yang melarang bagi setiap
muslim untuk memakan harta saudaranya dengan cara yang batil diantaranya adalah
:
Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu dia berkata, telah bersabda Rasulullah
SAW. "Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena tiga sebab :
seorang yang beristri / bersuami yang berzina, orang yang membunuh dan orang
murtad yang keluar dari agamanya dan memisahkan diri dari Al-Jama'ah "
HR Muslim.[13]
Ibnu Abbas merinci makna بالباطل yaitu dengan jalan kedzaliman seperti
merampok, mencuri, mengingkari janji dan lain sebagainya.[14] Hal
ini juga disebutkan oleh Imam Jalalain dalam tafsirnya.[15]
Kesimpulan dari ayat ini adalah bahwa haram hukumnya memakan harta
sesama muslim dengan cara yang batil, seperti mencuri, merampok, mengambil
tanpa izin, menyuap (riswah) dan lain sebagainya. Karena hal itu berarti
melanggar hak seorang muslim, karena harta seorang muslim itu tidak boleh
dilanggar, sebagaimana sabdanya :
كل المسلم علي المسلم حرام دمه وعرضه وماله
Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, kehormatannya dan
hartanya.[16]
III. Harta sebagai sarana berbuat kebajikan : Tafsir Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 195.
وأنفقوا في سبيل الله ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة وأحسنوا إن الله
يحب المحسنين
Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. QS Al-Baqarah ayat 195.
Imam Ibnu Katsir membawakan perkataan Imam Bukhary dalam
menafsirkan ayat ini katanya bahwa ayat ini turun berkenaan dengan masalah
nafkah.[17] Sementara
dalam Tafsir Jalalain disebutkan riwayat dari Abu Daud dan Thirmidzi yang
dinyatakan sah riwayatnya oleh Ibnu Hibban, Hakim dan lain-lain, dari Abu Ayyub
Al-Anshary, katanya "Ayat ini diturunkan kepada kita
dari golongan Anshar, yaitu tatkala Allah menjadikan Islam sebagai
agama yang jaya hingga para penyokongnya tidak sedikit jumlahnya, berkatalah
sebagian kita pada yang lain secara rahasia bahwa harta benda kita telah habis
dan Allah telah mengangkat agama kita menjadi jaya, maka sekiranya kita
mempertahankan harta benda itu, lalu menggantinya mana yang telah habis
…..! Maka turunlah ayat menolak pendapat dan rencana ini "Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." Sampai akhir ayat.[18]
Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan menyatakan "Infakkanlah
harta-hartamu dijalan Allah yaitu jalan ketaatan padaNya, dan janganlah kalian
menahan tangan-tangan kalian untuk memberikan infak di jalan Allah yang
berakibat kalian akan celaka….[19]
Makna kata وأنفقوا
في سبيل الله adalah hendaklah kalian berinfak di jalan Allah dengan
harta-harta kalian. Karena salah satu fungsi dari harta adalah untuk
meninggikan syariatNya, yaitu dengan cara menginfakkan di jalanNya. Mengenai
hal ini banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan kepada kita untuk berinfak
dengan harta-harta kita, diantaranya adalah “Dan belanjakanlah sebagian dari
apa yang telah Kami berikan kepadamu”. QS Al-Munafiqun ayat 10.
Masih
banyak lagi ayat-ayat yang memerintahkan kepada kita untuk memberi nafkah dan
berinfak di jalanNya. Semua itu menunjukan bahwa fungsi harta yang kita miliki
adalah memberikannya kepada orang-orang yang berhak atasnya.
Mengenai makna kalimat وأحسنوا maka ia bermakna perbuatan
kebajikan yang dilakukan oleh setiap muslim, terutama berkaitan dengan ke mana
harta itu dibelanjakan, apakah digunakan di jalanNya ? atau untuk hal-hal yang
tidak bermanfaat dan perbuatan dosa. Makna kebajikan secara lebih luas lagi
adalah komitmen kita sebagai seorang muslim terhadap syraiat
Allah ta'ala.
Dari ayat dan hadits-hadits di atas dapat disimpulkan bahwa harta
yang kita miliki mempunyai hak yang harus kita laksanakan yaitu dengan adanya
zakat dan infak yang ada di dalamnya. Zakat dilaksanakan ketika harta tersebut
sudah sampai nishab dan haul dengan ketentuan yang telah
disebutkan oleh para ulama, sedangkan infak adalah sesuai dengan kemampuan
kita, mengenai infak juga telah disebutkan oleh Nabi dengan sabdanya:“Sesungguhnya
pada setiap harta (seseorang) ada hak (orang lain) selain zakat”.
HR Tirmidzi.
IV. Harta sebagai Perhiasan Dunia bagi manusia : Tafsir Al-Qur'an Surat Ali Imran Ayat 14
زين للناس حب الشهوات من النساء والبنين والقناطير المقنطرة من الذهب
والفضة والخيل المسومة والأنعام والحرث ذلك متاع الحياة الدنيا والله
عنده حسن المآب
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga)”. QS Ali Imran
ayat 14.
Ayat ini termasuk ayat-ayat Madaniyyah, karena diturunkan setelah
Nabi hijrah ke Madinah. Makna kata زين للناس حب الشهوات yaitu menjadikan kecintaan pada jiwa
mereka pada sesuatu tanpa melihat adanya kejelakan dan cela padanya.
Selanjutnya الشهوات adalah
keinginan yang bersifat alami, seperti nafsu makan dan minum. Sedangkan
kata والقناطير
المقنطرة bermakna harta yang banyak, bentuk mufradnya
adalah القنطار yang
bisa berarti seribu'uqiyah emas. Satu 'Uqiyah adalah 12 Dirham
atau sekitar 28 gram emas. والخيل المسومة berarti adalah kuda-kuda pilihan yang
dijadikan tunggangan dalam peperangan. والأنعام yaitu binatang ternak semisal sapi,
kambing onta dan lain-lain, adapun والحرث adalah sawah ladang sebagai tempat
pertanian.[20]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'dy menyatakan bahwa
Allahta'ala mengkhabarkan kepada kita bahwa Dia telah menghiasi bagi
manusia kecintaan kepada dunia, khususnya pada harta benda yang telah
disebutkan dalam ayat ini, karena semua itu adalah sebesar-besar syahwat
(keinginan) sedangkan yang lainnya hanya mengikutinya.[21]
Imam Ath-Thabary menyatakan bahwa manusia berbeda pendapat mengenai
siapakah yang menjadikan tampak indah perhiasan dunia ini, sebagian golongan
berpendapat bahwa Allah-lah yang menjadikan hal itu, dan ini
adalah dhahir dari ucapan Umar bin Khatab seperti yang disebutkan
oleh Imam Bukhary. Dalam ayat yang lain disebutkan : "إنا جعلنا ما على الأرض زينة لها"
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan
baginya”, QS Al-Kahfi ayat 7.
Sementara golongan yang lain berpendapat bahwa yang menjadikan
indah perhiasan dunia itu adalah Syaithan.[22]
Dalam
ayat ini disebutkan beberapa jenis dari harta benda yang manusia sangat
menyukainya, di antaranya yaitu emas, perak, kuda-kuda pilihan, binatang ternak
dan sawah ladang. Dalam ayat yang lain disebutkan juga mengenai harta
benda tersebut :
وأورثكم أرضهم وديارهم وأموالهم وأرضا لم تطئوها وكان الله على كل شيء
قديرا
Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta
benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah
Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. QS Al-Ahzab ayat 27.
Dari
ayat di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa emas dan perak adalah masuk ke dalam
salah satu jenis harta kekayaan, Begitu juga tanaman-tanaman yang ada di kebun
serta tanah-tanah, rumah-rumah adalah termasuk harta benda yang diakui dalam
Al-Qur'an.
Semua jenis harta tersebut adalah perhiasan
hidup bagi manusia, sehingga hukum asalnya boleh untuk memanfaatkannya di jalan
kebaikan. Karena ia merupakan fitrah atau tabiat
manusia.
V. Syari’ah Infaq dalam setiap harta yang dimiliki : Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 92.
لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء فإن الله به
عليم
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. QS Ali Imran ayat 92
Abu Bakar Al-Jazairy menyatakan bahwa
makna Al-Birr adalah kalimat yang mencakup semua kebaikan, dalam arti
yang lebih khusus yaitu Surga. تنفقوا maknanya adalah menyedekahkan
harta bendanya. مما
تحبون dari harta-harta yang sangat dicintainya dan menjadi milik
kesayangannya. من
شيءmenunjukan sedikit ataupun banyak
. فإن الله به
عليم dan Dia akan membalasnya sesuai dengan besarnya sedekah
yang dikeluarkannya.[23]
Ketika turun ayat ini para shahabat Nabi yang mulia segera
menginfakkan harta-harta yang mereka cintai, seperti Umar yang memerdekakan
hamba perempuan yang menjadi kesayangannya., Zaid bin Haritsah bersedekah
dengan kuda kesayangannya.
Imam Waki' telah meriwayatkan dalam kitab Tafsirnya dari Syarik,
dari Abu Ishaq dari Amr bin Maimun bahwa makna lafadh تنالوا البر adalah surga. Imam Ahmad telah
meriwayatkan yang sanadnya sampai kepada Anas bin Malik yang berkata Abu
Thalhah adalah seorang seorang yang kaya dari kalangan Anshar di Madinah, dan
dia mempunyai harta yang sangat banyak, diantara harta yang sangat dicintainya
adalah Bairuha' (kebun) yang berada di dekat masjid, suatu
ketika Nabi memasukinya dan meminum air darinya, Anas berkata "Maka ketika
turun ayat ini 3/92 Abu Thalhah berkata "Wahai Rasulullah sesungguhnya
Allah telah berfirman "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai
"Maka sesungguhnya harta yang paling aku cintai
adalah Bairuha' (kebun), maka aku sedekahkan dia untuk Allah
dan aku mengharapkan ganjarannya tersimpan di sisiNya. Hal ini diikuti oleh
Umar bin Khatab yang mewakafkan bagiannya dari tanah di Khaibar untuk
kepentingan kaum Muslmin tidak ketinggalan anaknya yaitu Ibnu Umar yang berkata
"Telah datang kepadaku ayat ini "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu
cintai" Maka dia menyebutkan semua karunia Allah yang telah didapatkannya,
maka dia tidak mendapatkan sesuatu yang lebih dicintai lebih dari seorang
Jariyah (budak perempuan) maka aku berkata "Dia bebas (merdeka) karena
Allah".[24]
Sesungguhnya ayat ini mengajak kepada setiap mukmin untuk
mengorbankan hartanya untuk kebaikan agamanya dengan cara menyampaikan
kewajiban atas hartanya untuk diinfakkan di jalan-Nya. Tingkatan yang lebih utama
dan afdhal adalah ketika seorang muslim menginfakkan harta yang
paling disukainya.
Ayat-ayat yang selaras dengan ayat ini cukup banyak, di antaranya
adalah firman-Nya :
وأنفقوا من ما رزقناكم من قبل أن يأتي أحدكم الموت فيقول رب لولا
أخرتني إلى أجل قريب فأصدق وأكن من الصالحين
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan
kepadamu …QS
Al-Munafiqun ayat 10.
وأنفقوا في سبيل الله ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة وأحسنوا إن الله
يحب المحسنين
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah….QS Al-Baqarah 195.
Ayat-ayat
di atas secara gambalang menganjurkan untuk menginfakkan sebagian harta kita.
Sebagai satu rasa syukur kita kepada Allah ta'ala. Adapun
dari hadits, Nabi telah menjelaskan keutamaan dari berinfak ini
seperti sabdanya :
وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ
Menginfakkan
harta kepada orang-orang yang berhak adalah sebagai salah satu dari
melaksanakan perintahNya yang berkaitan dengan harta yang menjadi amanah kita,
sebagaimana diketahui pemilik mutlak harta itu adalah Allah ta'ala, sebagaimana
firmanNya : “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi”. QS Al-Baqarah ayat 284.
Dari
ayat ini dapat kita pahami bahwa semua harta yang ada di dunia ini adalah
milikNya, manusia hanya sebagai pemegang amanah, namun sangat disayangkan
banyak manusia yang lupa untuk melaksanakan hak dari harta tersebut yaitu
menginfakkannya kepada orang-orang yang berhak. Dan Infak yang paling
utama adalah yang diambil dari harta kita yang paling kita sukai.
VI. Harta
Sebagai Sarana Berjihad di jalan Allah ta'ala : Tafsir Al-Qur'an
Surat At-Taubah ayat 20.
الذين ءامنوا وهاجروا وجاهدوا في سبيل
الله بأموالهم وأنفسهم أعظم درجة عند الله وأولئك هم الفائزون
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan
Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di
sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. QS At-Taubah ayat 20.
Asbab An-Nuzul dari ayat ke-20 surat At-Taubah ini adalah
lanjutan dari ayat sebelumnya di mana disebutkan bahwa Imam Abu Hatim telah
membawakan sebuah atsar melalui jalur periwayatan Ali bin Abu Thalhah
dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan, bahwa ayahnya yang bernama Al-Abbas
sewaktu ditawan kaum muslimin pada saat perang Badr mengatakan "Jika
kalian telah mendahului kami dalam masuk Islam, berhijrah dan berjihad,
sesungguhnya kami (telah mendahului kalian) dalam hal memakmurkan Masjid
Al-Haram, memberi minum jama'ah Haji dan menyantuni orang-orang miskin",
maka turunlah firmanNya "Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada
orang-orang yang mengerjakan haji……"
Ibnu Katsir menyatakan bahwa Al-Aufi telah berkata dalam tafsirnya
dari Ibnu Abbas di dalam kitab tafsirnya mengenai ayat ini : "Sesungguhnya
orang-orang musyrikin mereka berkata "Mengurusi Baitullah (Ka'bah) dan
memberi minum para peziarahnya lebih baik daripada orang-orang yang beriman,
berhijrah dan berjihad, mereka bangga dengan hal itu, Allah menyebutkan
kesombongan mereka dan membantahnya dengan ayat ini.
Imam Ath-Thabary mengomentari ayat ini dengan menyatakan bahwa
dengan ayat inilah Allah membedakan antara dua kelompok yang berlawanan yaitu
orang-orang yang kafir dan orang-orang yang beriman dengan Allah serta berjihad
di jalanNya.
Lafadh الذين
ءامنوا yaitu orang-orang yang membenarkan dengan
tauhid dan berlepas diri dari kesyirikan. Sementara lafadh وهاجروا dan berhijrah meninggalkan kaumnya,
serta lafadh dari في
سبيل الله بأموالهم وأنفسهم dan berjihad dengan harta dan jiwa
mereka. Kedudukan mereka sangat mulia di sisi Allah dan Dia akan mengangkat
derajat mereka lebih tinggi dari orang-orang musyrik, dan mereka adalah
orang-orang yang disebutkan sifat-sifatnya mereka beriman, berhijrah dan
berjihad di jalanNya, dan merekalah orang-orang yang beruntung (وأولئك هم الفائزون ) yang akan dimasukan ke dalam surga dan
selamat dari Neraka.[26]
Imam Al-Qurtuby menyebutkan firman
Allah ta'ala kata الذين ءامنوا وهاجروا وجاهدوا kedudukannya sebagai mubtada'
adapun khabarnya adalah أعظم درجة عند الله adapun lafadz "درجة" adalah nashab yang berfungsi
sebagaibayan (penjelas). Penjelasannya adalah bahwa orang-orang yang
bangga dengan pemeliharaan mereka atas Ka'bah, mereka adalah orang-orang kafir
yang tidak mempunyai derajat kemuliaan di sisi-Nya, sehingga disebutkan bahwa
orang-orang yang beriman lebih agung dan mulia derajatnya.[27]
Abu
Bakar bin Jabir Al-Jazairy menyatakan mengenai ayat ini bahwa ciri dari
orang-orang yang beriman adalah mereka yang beriman, berhijrah, berjihad dengan
harta dan jiwa mereka, mereka adalah orang-orang mendapatkan derajat yang
tinggi di sisiNya.[28]
Ayat
ini secara ringkas menegaskan kepada kita tentang salah satu dari fungsi harta
yaitu sebagai sarana untuk berjihad di jalanNya, ayat-ayat yang berkenaan
dengan besarnya ganjaran bagi orang-orang yang berjihad dengan hartanya banyak
disebutkan dalam berbagai surat dalam Al-Qur'an, di antaranya adalah :
إن الذين ءامنوا وهاجروا وجاهدوا بأموالهم وأنفسهم في سبيل الله
والذين ءاووا ونصروا أولئك بعضهم أولياء بعض
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan
tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu
sama lain lindung-melindungi. Qs
Al-Anfal ayat 72.
الذين ءامنوا وهاجروا وجاهدوا في سبيل الله بأموالهم وأنفسهم أعظم
درجة عند الله وأولئك هم الفائزون
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan
Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di
sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. QS At-Taubah ayat 20.
انفروا خفافا وثقالا وجاهدوا بأموالكم وأنفسكم في سبيل الله ذلكم خير
لكم إن كنتم تعلمون
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa
berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian
itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. QS At-Taubah ayat 41.
Tiga
ayat di atas menyandingkan antara berjihad dengan jiwa raga dan berjihad dengan
harta, hal ini cukup bagi kita untuk menunjukan bahwa harta yang ada pada kita
adalah salah satu sarana untuk berjihad di jalanNya dalam rangka mengakan
kalimat "La ilaha ilallah".
Adapun
dalil dari As-Sunnah mengenai hal ini begitu banyak, di antaranya adalah sabda
Nabi :
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فَقَدْ غَزَا في سبيل الله كان له مثل أجره من
غير ينقص من أجر الغازي شيئا
Barang siapa yang membantu menyiapkan tentara untuk berperang
dijalanNya maka pahalanya seperti orang yang berperang tanpa menguranginya.[29]
Dengan
demikian marilah kita bersama-sama mempergunakan harta kita untuk selalu
mendekatkan diri kepadaNya, sehingga ia akan menyelamtakn kit di akhirat kelak.
Penutup
Eksistensi harta dalam Al-Qur'an berkaitan erat dengan segala hal
yang disebut sebagai harta di dalamnya. Selain itu ia juga berkaitan dengan
hikmah diberikannya harta kepada manusia, terkadang ia menjadi nikmat, namun
tidak jarang menjadi ujian. Makna harta (al-mal) dalam Al-Qur'an adalah
segala sesuatu yang memiliki nilai guna bagi manusia, baik berupa materi
ataupun manfaat. Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa :
Ø Harta adalah
salah satu Fitnah (ujian) bagi manusia : Al-Qur'an Surat Al-Baqarah
ayat 155
Ø Larangan
memakan harta orang lain secara batil (tidak benar) : Al-Qur'an Surat
Al-Baqarah ayat 188
Ø Harta sebagai
sarana manusia untuk berbuat kebajikan : Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 195
Ø Harta sebagai
perhiasan dunia bagi manusia : Al-Qur'an Surat Ali Imran Ayat 14
Ø Syari'ah Infaq
dalam setiap harta yang dimiliki : Al-Qur'an Surat Ali Imran Ayat 92
Ø Harta Sebagai
Sarana Berjihad di jalan Allah ta'ala : Al-Qur'an Surat At-Taubah
ayat 20
Daftar Kepustakaan
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisir Karimi Rahman fi
Tafsir Kalam Al- Manan, Jum’iyah Ihya At-turats
Al-Islami : Kuwait, 2003
Jalaluddin
Al-Mahali dan Jalaludin As-Suyuti, Tafsir Jalalain Juz I, Sinar Baru
Algesindo : Bandung
Abu
Abdillah Al-Qhurtubi, Al-Jami’ liahkam Al-Qur’an. Adnan Ath-Tharsyah, Anta Wa al-mal, Maktabah Ubakan, Riyadh,
2003
Anonimus, Tanwir
Al-Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas, Daru Al-Kutub Ilmiyyah, Beirut, 1987
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Hadits Arba'in An- Nawawiyyah.
M.
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, PT. RajaGrafindo, Jakarta, 2003
Helmi
Karim, Fiqh Muamalah, PT. RajaGrafindo, Jakarta, 2002, hal. 80.
Abu
Al-Fida' Ismail bin Katsir Ad-Dimasyqy, Tafsir Al-Quran Al-'Adhim, Jam'iyah Ihya At-Turats, Tahun 1994.
Abu
Bakar Al-Jazairy, Aisar Tafasir, Maktabah Al-'Ulum wa Al-hikam, Madinah, Tahun 1994.
Nasroen
Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama : Jakarta, 2000.
Rachmat
Syafe'i, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia : Bandung, 2004.
A.W.
Munawwir, Kamus Munawwir, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997
Ibnu
Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz XII, Darul Ihya At-Turats Al-‘Araby.
Anonimus Software
Al-Hadits Asy-Syarif, Global Islamic Software / Syirkah Baramij
Al-Islamiyah Ad-Dauliyah. Beirut : Libanon, 1991.
Anonimus, Holy
Qur’an (Versi 6.50) / Program Kitab Suci Al-Qur’an, Perusahaan Software Sakhr / Perusahaan Al-Alamiah, Republik Arab Mesir. 1997.
Al-Qur’an
dan terjemahannya. Mujamma’ Khadim l-Haramain asy-Syarifain al- Malik Fahd li
thiba’at al mushaf asy Syarif, Madinah KSA. 1412 H.
[8] Abu Al-Fida' Ismail bin Katsir Ad-Dimasyqy, Tafsir Al-Quran
Al-'Adhim, Jam'iyah Ihya At- Turats, Tahun 1994. hal 269.
[9] Abu Bakar Al-jazairy, Aisar Tafasir, Maktabah Al-'Ulum wa Al-hikam,
Madinah, Tahun 1994. hal. 133.
[10] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisir Karimi Rahman fi
Tafsir Kalam Al-Manan, Jum’iyah Ihya At-turats Al-Islami : Kuwait, 2003
[21]Abdurrahman
bin Nashir As-Sa’di, Taisir Karimi Rahman fi Tafsir Kalam Al-Manan, hal.
146.
[27]Imam
Al-Qhurtuby, hal. 86 Jil. 7-8