WA IKHTILAFIH*
Oleh; Nehrun Bafadhole
A. Pendahuluan
Ilmu
Mustholah hadits merupakan salah satu cabang ilmu hadits yang membahas mengenai
kaedah-kaedah yang digunakan untuk mengetahui derajat hadits dan kondisi para
perawinya. Kefahaman tentang ilmu ini mutlak dimiliki oleh orang yang
berkecimpung dalam bidang hadits, karena ia menjadi langkah awal untuk
membedakan hadits yang bisa dijadikan hujjah dari hadits-hadits lemah dan
palsu.
Sebagai
sebuah ilmu, Mustholah hadits telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan
periwayatan hadits itu sendiri. Artinya, benih-benih ilmu ini secara alamiah
telah muncul sejak zaman para shahabat sebagai generasi pertama perawi hadits.
Akan tetapi dalam bentuk yang sistematis, ia baru dibukukan pertama kali
–sebagaimana pendapat jumhur ulama hadits- oleh Ar Romahurmuzi dalam
kitabnya: al-Muhaddits al-Fashil.[1] Dalam
perkembangannya, Mustholah hadits semakin matang dan semakin tersistematiskan
dengan jerih payah para ulama yang menulis dalam bidang ini, seperti: Abu
Abdillah al-Hakim dalam Ma'rifat Ulum al-Hadits, Ibnu Sholah
dalam al-Muqoddimah, Imam An-Nawawi dalam al-Taqrib dll.
Walaupun demikian, pada kenyataanya, masih ada beberapa pembahasan yang belum
final dikalangan ulama, terutama terkait dengan pendefinisian beberapa
terminologi dalam ilmu Mustholah hadits. Salah satu diantaranya adalah: Musykil
al-Hadits wa ikhtilafih.
B. Definisi Musykil
Al-Hadits Dan Mukhtalif Al-Hadits
Al-Musykil secara
bahasa berasal dari kata"Syakala". Ibnu Faris berkata:"Kata syakala
dalam kebanyakan bentuknya mengandung arti:"Mumatsalah" (persamaan),
misalnya disebutkan:"Hadza Syaklu hadza", artinya: Ini sama dengan
ini.[2] Sedangkan dalam Lisan al-Arab disebutkan:"Asykala
al-amru" artinya: "Masalah ini ambigu" (mempunyai lebih
dari satu makna sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kekaburan).[3] Hal
yang sama disebutkan oleh para pakar bahasa seperti dalam al-Mu'jam al-Wasith,[4]
al-Qamus al-Muhith[5] dll.
Jadi,
al-Musykil dalam bahasa arab bermakna: sesuatu yang ambigu, mempunyai lebih
dari satu makna, dan menimbulkan kekaburan atau ketidakjelasan. Kemudian kata musykil digunakan
untuk menunjukkan sesuatu yang tidak jelas, baik karena mempunyai makna ganda
ataupun karena sebab lain.[6]
Oleh karena itu, istilah Musykil al-hadits juga digunakan untuk
menunjukkan hadits yang maknanya tidak jelas, atau menimbulkan multi tafsir.
Berdasarkan
pengetahuan penulis terhadap buku-buku Mustholah karangan para ulama terdahulu,
seperti: al-Muhaddits al-Fashil, Ma'rifat Ulum al-Hadits, Muqoddimah Ibnu
Sholah, at-Taqrib, al-Ba'its al-Hatsits dll, penggunaan istilah Musykil
al-Hadits tidak dipakai dan disebut dalam jenis-jenis ilmu hadits. Yang
mereka sebutkan adalah ilmu Mukhtalaf al-Hadits, yang berdasarkan
definisinya yang mereka sebutkan bermakna: "Ilmu yang membahas
tentang hadits-hadits yang secara zhahir saling bertentangan."[7]
Kemudian ketika menyebutkan contoh karangan dalam bidang tersebut,
mereka menyebut kitab Musykil al-Atsar karangan Imam ath-Thohawi.
Padahal kalau kita mempelajari kitab ini, maka akan kita dapati didalamnya
terdapat hadits-hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain, akan tetapi
maknanya menimbulkan multi tafsir, atau bertentangan dengan ayat al-Qur'an,
sejarah ataupun fakta ilmiah.
Zainuddin al-Iraqi
berkata: "Karangan dalam bidang Mukhtalaf al-hadits diantaranya
adalah kitab karangan Muhammad bin Jarir ath-Thobari, juga kitab Muyskil
al-Atsar karya ath-Thohawi.[8]
Jadi,
jelaslah bahwa para ulama terdahulu memasukkan pembahasan hadits-hadits yang
musykil dalam pembahasan Mukhtalaf al-hadits. Dan tentunya akan
timbul sedikit kerancuan disini, karena ketika mereka memberikan definisi Mukhtalaf
al-Hadits mereka hanya menyebutkan pertentangan suatu hadits dengan hadits
yang lain, sedangkan hadits Musykil mempunyai makna yang lebih luas dari itu.
Dalam hal ini, ternyata ulama-ulama muta'akhkhirin juga melakukan hal
yang sama dengan menyamakan Mukhtalaf al-Haditsdan Musykil al-hadits,
diantaranya adalah al-Shon'ani dalam kitab Taudhih al-Afkar,
al-Mulla Ali al-Qari dalam Syarh Syarh al-Nukhbah, dan al Kattani
dalam al-Risalah al-Mustathrofah. Al Kattani berkata ketika
menyebutkan karangan-karangan dalam bidang hadits: "Dan diantaranya
adalah kitab-kitab tentan Ilmu Mukhtalaf al-Hadits, atau anda bisa menyebutnya
ilmu Ta'wil Mukhtalaf al-Hadits, atau Musykil al-hadits, atau Munaqhodhoh
al-hadits." [9]
Mungkin,
ulama yang pertama kali menyebutkan bahwa suatu hadits mungkin mempunyai makna
yang tidak jelas dan menimbulkan tanda tanya –bukan sekedar bertentangan dengan
hadits lain- adalah Imam Thohawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar. Beliau
berkata: "Ketika saya meneliti hadits-hadits Rasulullah SAW yang
shahih sanadnya, dan diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, saya menemukan
hadits-hadits yang tidak diketahui maksud kandungannya oleh sebagian besar
orang, maka sayapun tertarik untuk menelitinya, kemudian menyingkap tabir
kemusykilannya dengan menjelaskannya, dan mengeluarkan hukum yang terkandung
didalamnya."[10]
Disini kita
lihat Imam Thohawi secara implisit menyebutkan tentang syarat-syarat hadits
musykil, definisinya dan cara menghilangkan kemusykilannya. Adapun syaratnya
adalah: hadits itu haruslah shahih sanadnya. Sedangkan definisinya menurut
beliau adalah: hadits-hadits yang tidak diketahui kandungan maknanya oleh
sebagian besar orang. Dan cara menghilangkan kemusykilan tersebut adalah
dengan menelitinya dan menjelaskannya.
Adapun para
ulama kontemporer yang menulis dalam bidang Mustholah hadits, secara umum
mereka mempunyai dua pendekatan dalam masalah ini:
1. Pendekatan
pertama adalah menganggap
istilah Mukhtalaf dan Musykil sebagai satu istilah yang
sama maknanya. Kelompok ini kemudian terbagi menjadi tiga kategori:
a) Sebagian
menyamakan istilah Mukhtalaf al-Hadits dan Musykil al-hadits,
dan menyebutkan satu definisi yang menjelaskan kedua istilah tersebut.
Diantaranya adalah Dr. Nuruddin al-'Itthr yang mengatakan:"Mukhtalaf
al-hadits, dan sebagian ulama menyebutnya: Musykil al-Hadits, yaitu: "Hadits
yang secara zhahir bertentangan kaedah hukum syara', atau bertentangan dengan
nash yang lain (baik al-Qur'an maupun As-sunnah) sehingga menimbulkan makna
yang bias".[11]
Juga Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib yang mendefinisikannya dengan: "Ilmu
yang mengkaji hadits-hadits yang secara zhahir saling bertentangan, maka kemudian
disingkronkan supaya tidak lagi bertentangan, atau mengkaji hadits-hadits yang
bertentangan dengan kaedah syari'ah atau nash lain (baik al-Qur'an maupun
As-sunnah)sehingga menimbulkan makna yang bias ."[12]
b)
Sebagian ulama
menganggap Musykil al-hadits adalah hadits yang bertentangan dengan
hadits lain, tanpa menyebutkan pertentangannya dengan kaedah syariah atau nash
al-Qur'an, seperti Syekh Abu Zahw.[13]
c)
Sebagian ulama sama sekali tidak
menyebut istilah Musykil al-hadits dan cukup menyebutkan
istilah Mukhtalaf hadits, seperti yang dilakukan oleh para ulama
terdahulu. Diantara ulama dalam kategori ini adalah: Syekh Ahmad Syakir,[14]
Prof. Dr. Mahmud ath-Thohhan,[15] dan
Dr. Ahmad Umar Hashim.[16]
2. Sedangkan
pendekatan kedua adalah membedakan antara kedua istilah tersebut, dan
menjadikan Mukhtalaf hadits sebagai istilah yang khusus menunjukkan
pertentangan hadits dengan hadits yang lain. Adapun Muyskil al-hadits merupakan
istilah lain, yang kemudian mereka berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.
Dr. Musthofa
Said al-Khinn mendefinisikannya sebagai: "Hadits yang secara zhahir
menunjukkan makna yang bathil, karena bertentangan dengan nash Al-Qur'an, atau
fakta ilmiah, atau karena mengandung tasybih (penyamaan) Dzat atau sifat Allah
dengan makhluknya."[17]
Sedangkan
Dr. Usamah Abdullah al-Khoyyath mendefinisikannya
sebagai: "Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih
yang secara zhahir maknanya menunjukkan hal yang mustahil, atau bertentangan
dengan kaedah Syari'ah yang disepakati."[18]
Adapun Dr.
Fathuddin al-Bayanuni mendefinisikannya sebagai: "Hadits-hadits
shahih yang secara zahir bertentangan dengan dalil lain (al-Qur'an dan
As-Sunnah), atau kaedah syara' dan akal, atau fakta sejarah dan fakta
ilmiah."[19]
Definisi yang tepat dan penjelasannya
Dari
definisi-definisi diatas kita dapati bahwa semuanya menunjukkan kepada
penjelasan yang hampir sama, dengan beberapa perbedaan dalam menyebutkan
sebab-sebab musykilnya suatu hadits. Secara lebih rinci, dari gabungan definisi
diatas, dapat kita simpulkan bahwa suatu hadits dikatakan musykil apabila ia: Merupakan
hadits yang sahihSecara zhahir mempunyai makna yang tidak jelas,
atau;Menunjukkan hal yang mustahil seperti penyamaan dzat dan sifat Allah,
atau;Bertentangan dengan kaedah syara', atau;Bertentangan dengan akal,
atau;Bertentangan dengan nash lain baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah, atau;Bertentangan
dengan fakta ilmiah, atau;Bertentangan dengan fakta sejarah.
definisi
yang paling tepat untuk Musykil al-hadits adalah: "Hadits shahih yang
secara zhahir tidak jelas maknanya, atau bertentangan dengan syara', atau akal,
atau dalil yang lain (baik Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma maupun Qiyas), atau
dengan fakta ilmiah dan fakta sejarah."
Penjelasan dari definisi ini adalah sebagai
berikut:
Ø Hadits
shahih: Dalam pembahasan Musykil al-hadits kita hanya menerima hadits
hadits shahih saja, karena tujuan pembahasannya adalah untuk mengetahui makna
yang benar dari hadits tersebut. Sedangkan hadits yang lemah atau palsu tidak
bisa dijadikan sebagai hujjah, sehingga tidak ada artinya kita mentakwilkan
atau menjelaskan kemusykilannya.
Ø Secara
zhahir: Syarat ini untuk menjelaskan bahwa terkadang hadits tersebut sebenarnya
tidak musykil, akan tetapi karena ketidaktahuan orang yang membacanya membuatnya
menjadi tampak musykil.
Ø Tidak jelas
maknanya: karena mempunyai kosa kata yang asing, atau karena terlalu umum
dan tidak spesifik, atau karena mempunyai lebih dari satu makna yang
memungkinkan terjadinya multi tafsir, sehingga perlu diketahui makna yang
dimaksud dalam hadits tersebut, atau sebab yang lain.
Ø Bertentangan
dengan Syara', akal, dalil yang lain, dan fakta ilmiah dan fakta
sejarah: ini adalah merupakan hal-hal yang mungkin bertentangan dengan
hadits shahih secara zahir. Contoh-contoh untuk setiap hadits yang bertentangan
dengan hal-hal diatas dapat kita temukan dalam kitab-kitab yang ditulis secara
khusus untuk mengkaji hadits-hadits musykil.
Dari
definisi yang telah penulis paparkan, maka terlihat dengan jelas
bahwa Mukhtalaf al-Hadits seharusnya dibedakan secara terminologi
dari Musykil al-Hadits, karena Musykil al-Hadits lebih umum dari
Mukhtalaf al-Hadits. Jadi hubungan antara dua terminologi tersebut adalah:
"keumuman dan kekhususan secara mutlak", karena semua hadits yang
Mukhtalaf bisa dikategorikan sebagai Musykil, akan tetapi hadits yang Musykil
belum tentu masuk dalam kategori Mukhtalaf.
Secara lebih detail, perbedaan antara
keduanya bisa dipaparkan sebagai berikut:
a)
Dari segi bahasa, Musykil berasal
dari kata "asykala" yang berarti ambigu atau mengandung makna yang
tidak jelas, sedangkan Mukhtalaf berasal dari kata "ikhtalafa" yang
berarti berbeda atau bertentangan.
b)
Dari segi sebab, suatu hadits
dikategorikan sebagai Mukhtalaf apabila bertentangan dengan hadits shahih yang
lain, sedangkan dalam Musykil al-Hadits, sebab pengkategoriannya adalah
disebabkan oleh pertentangan hadits tersebut dengan dengan Syara', akal, dalil
yang lain (baik Al-Qur'an, As-Sunnah) dan fakta ilmiah serta fakta sejarah.
C. Sejarah
Perkembangan Ilmu Musykil al-Hadits[20]
Fenomena
"Isytisykal al-Hadits" (mempertanyakan makna suatu hadits) sebenarnya
sudah ada sejak zaman Shahabat radhiallahu anhum. Dalam hal ini bisa
disebutkan contoh, dimana seorang shahabat bertanya kepada Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam karena tidak memahami sabda tersebut. Dalam
shahih al-Bukhari diriwayatkan:
Dari Ibnu
Abi Mulaikah, bahwa Aisyah istri Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
apabila mendengar sabda Nabi yang ia tidak pahami maknanya, selalu
bertanya kepada Nabi. Suatu saat Nabi bersabda: "Barang siapa yang ditanya
ketika dihisab, maka ia akan diazab." Maka Aisyah bertanya: "Bukankah
Allah berfirman: "Maka ia akan dihisab dengan hisab yang mudah?" Maka
Nabi bersabda: "Sesungguhnya ayat tersebut berkenaan dengan al-Ardh (yaitu
salah satu fase di hari kiamat dimana diperlihatkan kepada seorang mukmin
catatan amalnya), akan tetapi barang siapa yang ditanya ketika dihisab, maka ia
akan diazab. (HR. al-Bukhari)[21]
Dalam hadits
tersebut, Aisyah ketika mendengar sabda Nabi bahwa semua orang yang dihisab
akan diazab, beranggapan bahwa sabda tersebut bertentangan dengan ayat yang
menunjukkan bahwa sebagian orang yang dihisab (yaitu orang mukmin), akan
dihisab dengan hisab yang mudah. Maka kemudian Rasulullah menjelaskan, bahwa
yang dimaksud ayat tersebut adalah pada saat al-Ardh, yaitu ketika Allah
memperlihatkan catatan amal seorang mukmin, dan menunjukkan dosa-dosanya, akan
tetapi Allah mengampuninya. Sedangkan sabda Nabi tersebut khusus untuk
orang-orang yang ditanya ketika dihisab, maka pasti dia akan diazab.[22]
Fenomena ini
terus berlanjut di era shahabat dan para ulama sesudahnya. Hal ini wajar,
selama motivasi orang yang bertanya tersebut betul-betul karena ingin memahami
suatu hadits, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat negatif seperti
menimbulkan keraguan terhadap hadits, atau mencari-cari masalah yang aneh yang
susah dicari jawabannya dll.
Oleh karena
itu, dalam sejarah periwayatan hadits dikenal "Istidrokat Aisyah 'ala
al-Shahabah" (koreksi Aisyah terhadap riwayat shahabat)[23] dimana
Aisyah menyanggah beberapa riwayat shahabat dan menganggap bahwa telah terjadi
kesalahan dalam periwayatan tersebut karena lupa atau kesalahan memahami nash.
Akan
tetapi setelah era shahabat, muncullah berbagai kelompok (thawaif) yang
mempunyai pemahaman yang menyimpang dalam masalah aqidah dan syariah, maka
kemudian para ulama ketika ditanya tentang suatu masalah, membedakan antara
orang yang bertanya karena ingin mengetahui hukum yang sebenarnya, dan orang
yang sengaja mencari-cari masalah dengan tujuan membuat orang ragu-ragu.
Dari sisi
lain, dengan banyaknya kelompok-kelompok yang menyimpang tersebut, para ulama
mulai menjawab syubhat-syubhat mengenai pemahaman beberapa hadits, dengan
tujuan untuk menjelaskan kepada masyarakat hal yang sebenarnya. Maka dikenallah
Imam Syafi'i sebagai orang yang pertama kali menuliskan buku untuk menjawab syubhat-syubhat
yang berkembang di masyarakat mengenai hadits dalam bukunya "Ikhtilaf
al-Hadits". Kemudian muncul ulama-ulama yang lain seperti Ibnu Qutaibah,
Imam Thohawi dll.
D. Contoh-contoh
Hadits Musykil
para
pengkaji musykil al-hadis memilah kemusykilan sebuah hadis menjadi empat hal
yaitu karena, -diduga tidak sesuai dengan al-Qur`an. -diduga tidak sesuai
dengan ilmu pengetahuan. -diduga tidak sesuai dengan akal sehat, -diduga tidak
sesuai dengan kenyataan.
Berikut ini adalah beberapa contoh hadits
yang bisa dikategorikan sebagai hadits musykil:
1.
Hadits yang
secara zahir bertentangan dengan al-Qur'an.
"Dari Jarir r.a, ia berkata: "Rasulullah
s.a.w keluar bersama kami pada suatu malam purnama.Kemudian beliau bersabda:
"Kalian akan melihat Tuhan kalian pada hari kiamat sebagaimana kalian
melihat bulan ini, tanpa terhalang sesuatu pun”.[24]
Hadits ini
menerangkan bahwa pada hari kiamat, orang-orang yang beriman akan dapat melihat
Allah s.w.t. Secara zahir, ia bertentangan dengan firman Allah s.w.t dalam
surat al-An'am ayat 103 yang menerangkan bahwa semua makhluk Allah tidak bisa
melihat-Nya. Allah berfirman:
Artinya: "Dia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan
itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui."[25]
Maka, para
ulama pun menjelaskan maksud dari kedua dalil tersebut sehingga tidak timbul
lagi kontradiksi antara keduanya. Diantaranya adalah pendapat Ibnu
Abbas: "Di dunia, Allah tidak dapat dicapai oleh penglihatan
makhluknya, akan tetapi di akhirat, orang-orang yang beriman bisa melihatnya,
sesuai dengan penjelasan hadits tersebut."
2.
Hadits yang
secara zahir bertentangan fakta ilmiah.
Salah satu
contoh hadits yang dianggap bertentangan dengan fakta ilmiah dan ilmu
pengetahuan adalah, hadits riwayat Imam al-Bukhari:
Abu Hurairah r.a berkata: Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w bersabda: "Tidak ada penyakit menular."[26]
Hadits ini
menegaskan bahwa tidak ada penyakit menular, padahal secara ilmiah diketahi
bahwa ada beberapa penyakit yang bisa berpindah dari seseorang ke orang lain.
Maka para ulamapun menjelaskan makna hadits tersebut, salah satunya adalah Syekh
Ahmad Syakir yang mengatakan:"Menurut saya pendapat yang paling kuat
adalah yang diutarakan oleh Ibnu Sholah, bahwa suatu penyakit tidak bisa
menular dengan sendirinya, akan tetapi Allah-lah yang menentukan bahwa
berdekatan dengan orang yang berpenyakit menular akan membuat seseorang
tertular, karena dimungkinkan ada sebab lain yang membuatnya sakit. Karena
sesungguhnya telah menjadi fakta dalam ilmu kedokteran modern, bahwa
suatu penyakit bisa menular melalui mikroba yang dibawa oleh angin atau ludah
atau yang lainnya."[27]
3. Pemahaman Hadis Musykil yang tampak
tidak sesuai dengan Akal Sehat
“Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah di
bumi-Nya, yang dengannya Ia salami makhluq-Nya yang Ia Kehendaki”
Ibn Qutaibah
menyebutkan riwayah Ibn ‘Abbas tanpa memerinci sanadnya di bawah judul Hadis fi
at-Tasybih. Ia mengemukakan :Kita mengatakan bahwa ini adalah tamsil dan
perumpamaan. Asalnya adalah seorang raja jika menyalami seseorang, orang itu
mencium tangannya. Maka Hajar Aswad tersebut seakan-akan bagi Allah memiliki
kedudukan sebagai tangan Sang Raja untuk disalami dan dicium. Telah sampai
kepadaku bahwa Aisyah berkata: Sesungguhnya Allah ketika melakukan perjanjian
dengan bani Adam dan mempersaksikan-Nya kepada mereka; Tidakkah Aku Tuhanmu ?,
Mereka mengatakan ;Ya (Engkaulah Tuhan
kami) dan mejadikan (tanda perjanjian) itu pada Hajar Aswad.
Menurut Ibn Furak yang dimaksud hadis Hajar
Aswad tersebut adalah satu dari kenikmatan Allah atas hambanya, yang
menjadikannya sebagai sebab yang membuat orang mukmin diberi pahala guna taqarrub
kepada Allah dengan cara menyalaminya. Kita telah menjelaskan bahwa orang Arab
menyatakan kenikmatan dengan tangan kanan atau penisbatan kepada Hajar Aswad
tersebut merupakan bentuk penghormatan Allah kepadanya. Penghormatan tersebut
merupakan fi’il (perbuatan)-Nya yang Ia sebut dengan “tangan kanan” dan
menisbatkan tangan tersebut pada Diri-Nya serta memerintahkan orang-orang untuk
menyalami dan menciumnya guna menampakkan kepatuhan mereka untuk taqarrub
kepada Allah. Dengan begitu mereka memperoleh barakah dan kebahagiaan dari
Allah.
Sedangkan
Al-Muhibb ath-Thabari berpendapat maksudnya adalah semua raja jika menerima
duta dan delegasi maka tangannya dicium. Dan ketika orang yang berhaji
disunnahkan untuk mencium Hajar Aswad ketika datang (keKa’bah), maka Hajar
Aswad menempati tempatnya raja secara perumpamaan. Wa li Allah al-masal
al-a’la. Karenanya orang yang menyalami batu itu di sisi Allah seperti
halnya janji setia dan kedekatan, sebagaimana seorang raja memberikan janji
setia dengan cara menyalami.
Ibn Hajar
dalam Fath al-Bari denganmengutip pendapat Al-Khaththabi menyatakan: maksudnya
manusia memperoleh kedekatan di sisi Allah. Setelah menjadi kebiasaan bahwa
janji setia dan kedekatan ditandai dengan cara berjabatan tangan antara seorang
raja dengan orang-orang yang ingin mendapat tempat terhormat di sisinya atau
diberi kekuasaannya.
Dari paparan
di atas tampak bawah hadis ini dipahami dalam bentuk pengertian majaz bukan
zahir. Penolakan terhadap makna majaz dan memengangi makna zahir jelas menghasilkan
pengertian yang tidak masuk akal.
4. Pemahaman Hadis Musykil yang tampak
tidak sesuai dengan Kenyataan
“Ia
(Nabi) menyebut bahwa seratus tahun kemudian pada saat itu tak ada di atas bumi
orang yang masih Hidup”
Kemusykilan dalam hadis ini terletak pada
peringatan bahwa sesudah seratus tahun sesudah nabi, tak ada lagi orang yang
masih hidup. Pemahaman seperti ini memang wajar dari zhahir teksnya. Hadis ini memang diriwayatkan oleh banyak
rawi. Dengan melihat periwayatan hadis-hadis lain yang setema para ahli hadis
menuntaskan kemusykilan hadis ini. Dari segi makna memang kita memahaminya
merupakan suatu yang tidak sesui dengan kenyataaan, ini juga terjadi pada
sebagian sahabat sebagaimana secara tersirat ditunjukkan oleh paparan Ibn Hajar
: “Karena sebagian dari mereka mengatakan kiamat akan terjadi seratus tahun
sebagaimana diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan yang lainnya dari hadis Abu
Mas’ud al-Badri yang mana Ali (diketahui) menolak hal tersebut. Dan ibn Umar
dalam hadis tersebut telah menjelaskan maksud nabi tersebut, yakni nabi
bermaksud mengatakan bahwa “seratus tahun lagi semenjak ia menyabdakan,
ketika abad itu lewat orang-orang yang ada saat perkataan itu disabdakan kelak
sudah tidak ada lagi”. Demikianlah terbukti dengan adanya penelitian
(istiqra’)bahwa orang yang diketahui hidup waktu itu adalah sahabat Abu
at-Thufail, Ahli hadis telah bersepakat bahwa beliaulah sahabat yang terakhir
wafat.
E. Sebab–Sebab
Hadits Mukhtalif
Ø Faktor
Internal Hadits (Al ‘Amil Al Dakhily) Yaitu
berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Bisaanya
terdapat ‘illat (cacat) didalam hadits tersebut yang nantinya
kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits
tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shohih.
Ø Faktor
Eksternal (al’ Amil al Kharijy) Yaitu
faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi
ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan
haditsnya.
Ø Faktor
Metodologi (al Budu’ al Manhajy) Yakni
berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits
tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstualis
dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang
dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkn hadits-hadits
yang mukhtalif.
Ø Faktor
Ideologi Yakni
berkaitan dengan ideology suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga
memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang. [28]
F. Metode
Penyelesaian Hadits Mukhtalif
Untuk
mengawali pembahasan tentang metode atau cara
menyelesaikan hadîts mukhtalif, sengaja dikutip pernyataan Imam
al-Syafi’iy sebagai peringatan yang tegas dalam memahami hadits-hadits mukhtalif, yaitu:
لا تجعل عن رسول الله حديثين مختلفين أبدا إذا وجد السبيل إلى
أن يكونا مستعملين, فلا نعطل منهما واحدا لأن علينا في كل ما علينا في صاحبه, ولا
نجعل المختلف إلا فيما يجوز أن يستعمل أبدا ألا بطرح صاحبه [29] [30]
Peringatan
ini disampaikan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasulullah
menyampaikan ajaran Islam yang antara satu dengan yang lainnya benar-benar
saling bertentangan. Jika ada penilaian yang menyatakan bahwa satu hadits dengan hadits
lainnya saling bertantangan,
Dalam hal
ini ada dua kemungkinan.Kemungkinan pertama, salah satu dari hadits tersebut bukanlah hadits maqbûl, melainkan hadits mardûd, baik do’îf maup- mawdhû, besarkemungkinanbertentangandengan hadits shahîh atau hasan.
Kedua, karena
pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju oleh hadits-hadits
tersebut.[31]
Karena bisa saja masing-masing hadits tersebut memiliki maksud
dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan menurut maksud
masing-masing.
mengenai
metode penyelesaian hadits-hadits mukhtalif, ada tiga cara yang mesti
dilakukan yakni penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian dengan
cara nasakh dan penyelesaian dengan cara tarjîh. Di mana ketiga
cara tersebut dilakukan dengan berurutan. Artinya jika cara pertama tidak
menemukan jalan keluar, maka ditempuh cara kedua, jika cara kedua belum juga
diperoleh solusi, maka ditempuh cara ketiga. Berikut penjelasan lebih lanjut:
1.
Metode al-Jam’u (penggabungan
atau pengkompromian)
Adapun yang
dimaksud dengan metode kompromi dalam menyelesaikan Hadîts
mukhtalif ialah menghilangkan pertentangan yang tampak (makna
lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna
masing-masingnya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang
lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang tepat yang
menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat
diamalkan sesuai dengan tuntutannya.Metode al-jam’u ini tidak berlaku
bagi hadits–hadits dlaif ( lemah ) yang bertentangan dengan
hadits–hadits yang shahih. Untuk menemukan benang merah antara
kedua Hadîts yang saling bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan
empat cara, yaitu:-Menggunakan Pendekatan Kaedah Ushûl, - Pemahaman
Kontekstual (sababu al wurud), - Pemahaman Korelatif, - dan Menggunakan
Cara Ta’wîl.
Sebagai contoh penulis paparkan hadist yang Penyelesaianya
berdasarkan pemahaman dengan menggunakan pendekatan kaedah ushul. yaitu Hadîts tentang
mengambil upah dari jasa berbekam:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي نُعْمٍ قَالَ سَمِعْتُ
أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ
الْحَجَّامِ وَعَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ
Hadîts ini melarang mengambil upah dari
jasa berbekam, kemudian hadis lain menyebutkan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ
وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ
يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ
كَسْبِ الْحَجَّامِ فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ
وَكَلَّمَ أَهْلَهُ فَوَضَعُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ وَقَالَ إِنَّ أَفْضَلَ مَا
تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ أَوْ هُوَ مِنْ أَمْثَلِ دَوَائِكُمْ ِ
Hadîts ini
menunjukkan bahwa bahwa Rasulullah pernah berbekam yang dilakukan oleh Abu
Thaibah kemudian ia diberi upah oleh Rasulullah. Hadîts pertama
dikeluarkan oleh al-Nasâ’iy, Hadîts kedua dikeluarkan oleh Imam
Muslim dalam kitab yang sama. Di lihat dari sisi redaksi antara pertama dan
kedua nampak saling bertentangan. Hadîts pertama menjelaskan adanya
larangan mengambil keuntungan dari berbekam yang sekaligus menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut haram. Para ulama mencoba memahami pertenatangan tersebut
dengan menggunakan
pendekatan muthlaq dan muqyyad.Haramnya kasb
al-hajâm merupakan suatu yang muthlaq, kemudian dibatasi oleh
adanya qârinah untuk mengambil manfaat dari orang lain karena
Rasullullah melakukannya.[32] Adanya qarinah menjadikan kasb
al-hâjam tidak lagi haram akan tetapi makruh.
2.
Metode
Nasikh Mansukh
Jika
ternyata hadits tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh
metode naskh-mansukh (pembatalan).[33]
Maka akan dicari makna hadits yang lebih datang dulu dan makna hadits
yang datang belakangan. Otomatis yang datang lebih awal dinaskh dengan yang
datang belakangan.
Salah satu contoh dua hadits yang saling
bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode naskh-mansukh adalah
hadits tentang hukum makan daging kuda:
à أَخْبَرَنَا كَثِيرُ
بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ
بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ
ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ
à حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ
دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.
Dua hadits di
atas terlihat saling bertantangan, hadits pertama bersisi tentang larangan
makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadits kedua
menunjukkan kebolahan memakan daging kuda. Pertenatangan ini mesti dihilangkan
dengan cara nasakh. Hukum keharaman makan daging kuda
pada hadits pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kobolehan makan daging
kuda pada hadits Jâbir Ibn Abdallah yang datang setelahnya.
3.
Metode
Tarjih
Metode ini
dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti
perlu memilih dan mengunggulkan mana diantara hadits-hadits yang tampak
bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih
berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Sebagai contoh, adalah hadits tentang nasib
bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di Neraka. Sebagai contoh
adalah hadits berkut ini:
الوائدة والموؤودة في النار
“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan
bayinya akan masuk neraka. (HR Abu Dawud)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu
Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut
(asbabul wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama
saudaranya menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “ Wahai Rasul
sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang yang suka menyambung silaturrahmi,
memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan Jahiliyah. Apakah amal
kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dulu ia
pernah mengubur saudara perempuanku hidup-hidup di zaman Jaihliyah. Apakah amal
akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak
perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di Neraka, kecuali
jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya.
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Nasa’i, dan dinilai
sebagai hadits hasan secara sanad oleh imam Ibnu Katsir.[34]
Hadits tersebut dinilai mukhtalaf dari sisi
matan dan musykil dengan Al Quran surat al Takwir :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ
قُتِلَتْ (9)
Artinya ; dan apabila bayi – bayi perempuan
yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.(QS.
At-Takwir: 8-9)
Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya
itu masuk ke Neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak
tahu apa-apa itu juga masuk ke Neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka
dari itu, langkah yang diambil adalah dengan mentarjih. sehingga hadits
tersebut menjadi marjuh meskipun sanadnya hasan, karena adanya pertentangan
dengan hadits lain yang lebih kuat derajatnya, yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al-Sharimiyyah:
Ya Rasul, siapa yang akan masuk Surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad SAW
akan masuk Surga, orang yang mati syahid juga akan masuk Surga, anak kecil juga
akan masuk Surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk
Surga. (HR. Ahmad.) kerojihan riwayat ini diperkuat oleh hadits yang
mengatakan bahwa setiap bayi itu lahir dlam keadaan suci lagi fitroh.
G. Kitab
Terkait Ma’rifatu Musykili Al Hadits Wa Ikhtilafih
Berikut ini
adalah beberapa kitab penting yang bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui
hadits-hadits yang musykil dan mukhtalif dan cara menjelaskan atau
mentakwilkannya. Diantaranya adalah:
a. Kitab "Ikhtilaf
al-Hadits" karangan Imam Al-Syafi'i
b. Kitab "Ta'wil
Mukhtalaf al-Hadits" karya Ibnu Qutaibah
c. Kitab "Musykil
al-Atsar" karya Ath-Thohawi
d. Kitab "Kasyf
al-Musykil Min hadits ash-Shohihain" karya Ibnul Jauzi
e. kitab
“Musykil al-Hadits Wa Bayanuhu” karya Imam al-Muhaddits Abu bakar Muhammad ibn
al-Hasan (ibn Furak) al-Anshariy al-Ashbahaniy (406 H)
H. penutup
Tidak dapat
dipungkiri lagi adanya hadis-hadis yang musykil dan hadits-hadits yang
mukhtalif. Namun, untuk memahami hadis-hadis tersebut perlu adanya kerangka
pemahaman berdasarkan kajian yang dilakukan oleh ulama sebagaimana telah
penulis uraikan di atas. Berbagai problema di seputar hadis-hadis musykil dan
mukhtalif serta cara memahaminya (penyelesaiannya) dapat dijadikan pedoman
untuk memahami hadis-hadis musykil dan mukhtalif.
Referensi
Makatabah Syamilah Dan Buku Scan Dalam Bentuk
PDF
Ahmad bin Harits bin Zakariya, Mu'jam Maqayis
al-Lughah (Beirut: Ittihad al-Kuttab al-'Arab, 2002).
Nuruddin al-Itthr, Manhaj Al-Naqd Fi Ulum
Al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, cet.3, 1997).
Ahmad Muhammad al-Samahi, Al-Manhaj Al-Hadits
Fi Ulum Al-Hadits.
Ahmad Umar Hashim, Qowaid Ushul al-Hadits (Beirut:
Alam al-Kutub, cet.2, 1998).
Al-Thohawi, Bayan Musykil al-Atsar.
Fathuddin al-Bayanuni, Musykil Al-Hadits, Isykaliyah
Al-Mustholah Wa Tarikh Al-Nasy'ah, Journal of Islam in Asia, International
Islamic University Malaysia, Vol. 2, Juli 2005.
Ibrahim Anis dkk, Mu'jam al-Wasith (Dar
al-Dakwah, Cet.1).
Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits Wa Al-Muhadditsun.
Muhammad Ahmad al-Thohhan, Taisir
Mustholah Al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet. 7, 1985).
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadits,
Ushuluh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, Cet.1, 1989).
Muhammad bin Ibrahim bin Jama'ah, al-Manhal
al-Rawi (Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 2, 1406).
Muhammad bin Ja'far al-Kattani, Al-Risalah
al-Mustathrofah li bayan masyhur kutub al-Sunnah al-Mushonnafah (Beirut: Dar
al-Basya'ir al-Islamiyah, cet: 4, 1986).
Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Ifriqi,
Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, Cet.1).
Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud
al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits al-Syarif.
* Makalah ini disusun oleh Nehrun Bafadhole dan dipresentasikan Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Al-Hadits Wa Ulumuh pada program pascasarjana Ilmu Tafsir
INTITUT PTIQ Jakarta 2012.
[1] Muhammad bin Ja'far al-Kattani, Al-Risalah
al-Mustathrofah li bayan masyhur kutub al-Sunnah al-Mushonnafah (Beirut:
Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, cet: 4, 1986).
[2] Ahmad bin Harits bin Zakariya, Mu'jam Maqayis
al-Lughah (Beirut: Ittihad al-Kuttab al-'Arab, 2002), jilid: 3.
[3] Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Ifriqi,
Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, Cet.1)
[4] Ibrahim Anis dkk, Mu'jam al-Wasith (Dar
al-Dakwah, Cet.1) jilid: 1.
[5] Al-Faizurabadi, al-Qamus al-Muhith, jilid: 2.
[6] Abdullah bin Muslim al-Dinauri, Ta'wil
Musykil al-Qur'an.
[7] Sebagai contoh, lihat: Muhammad bin Ibrahim bin
Jama'ah, al-Manhal al-Rawi (Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 2, 1406),
[8] Zainuddin Abu al-Fadhl Abdur Rahim al-Iraqi, Syarh
at-Tabshirah wa al-Tazkirah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1,
2002),
[9] Muhammad bin Ja'far al-Kattani, al-Risalah
al-Mustathrafah (Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyah, cet. 4, 1986),
[10] Al-Thohawi, Bayan Musykil al-Atsar, jilid: 1.
[11] Nuruddin al-Itthr, Manhaj al-Naqd fi Ulum
al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, cet.3, 1997)
[12] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadits,
Ushuluh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr,1989)
[13] Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa
al-Muhadditsun.
[14] Ahmad Syakir, Syarh Alfiyah al-Suyuthi
(Beirut: Dar al-Ma'rifah)
[15] Muhammad Ahmad al-Thohhan, Taisir Mustholah
al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet. 7.
[16] Ahmad Umar Hashim, Qowaid Ushul
al-Hadits (Beirut: Alam al-Kutub, cet.2, 1998).
[17] Musthofa al-Khin, al-Idhoh fi Ilmi Ulum
al-Hadits wa al-Mustholah
[18] Usamah Abdullah al-Khayyath, Mukhtalaf al-Hadits
baina al-Muhadditsin wa al-Ushuliyyin wa al-Fuqaha (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet.
1, 2001).
[19] Fathuddin al-Bayanuni,
Musykil al-Hadits, Isykaliyah al-Mustholah wa Tarikh al-Nasy'ah, Journal of
Islam in Asia, International Islamic University Malaysia, Vol. 2, Juli 2005.
[20]
http://www.almeshkat.net
[21]
فأخرج البخاري بسنده إلى ابن أبي مليكه أن عائشة زوج النبي r ورضي الله عنها
كانت لا تسمع شيئاً لا تعرفه إلا راجعت فيه حتى تعرفه، وأن النبي قال: "من حوسب عذب"، قالت عائشة رضي الله عنها فقلت: أوليس
يقول الله تعالى: }فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَاباً يَسِيراً{ (الانشقاق: 8)، قالت:
فقال: "إنما ذلك العرض؛ ولكن من نوقش الحساب يهلك"
[22] Penjelasan lebih lengkap mengenai masalah ini
dapat dilihat di: Ibn Hajar al-Asqolani, Fath al-Bari, Juz: 14
[23] Imam al-Zarkasyi telah mengumpulkanistidrokat tersebut
dalam sebuah buku berjudul:al-Ijabah li iradi ma istadrakathu 'Aisyah ala
al-Shahabah, diterbitkan oleh al-Maktab al-IslamiBeirut tahun 1939.
[24] Hadits Muttafaq alaih.
[25] Surat al-An'am ayat 103
[26] H.R. al-Bukhari
[27] Ahmad Syakir, al-Ba'its al-Hatsits Syarh
Ikhtisha Ulum al-Hadits, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Lebanon, Cet. 2
[28] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil
Hadits(Yogyakarta : Idea Press, 2008).
[29] Muhammad Ibn Idris
al-Syafi’iy, al-Umm, (Bairût, Dâr al-Fikr, 1983) Cet Ke-3, Jilid VII.
[30] Artinya; “Jangan
mempertentangkan hadits Rasulullah satu dengan yang lainnya, apabila
mungkin ditemukan jalan untuk
menjadikan hadits - hadits tersebut dapat sama-sama
diamalkan. Jangan tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya
kewajiban untuk mengamalkan keduanya. Dan jangan
jadikan hadits - hadits bertentangan kecuali tidak mungkin
untuk diamalkan selaian harus meninggalkan salah satu darinya.”
[31] Edi Safri, al-Imam al-Syafi’iy;
Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press,
1999),
[32]
Badrân Abu al-‘Ainain Badrân, Adllah al-Tasyrî’ al-Muta’âridhah wa
Wujuh al-Tarjîh bainahâ, (al-Iskandariah: Muassah al-Syiariy
al-Jâmi’ah, 1985).
[33]
Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al–izalah), bisa pula
berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan secara
istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan oleh syari’ (pembuat
syariat; yakni Allah dan Rasulullah) terhadap ketentuan hukum syariat yang
datang lebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang belakangan.
[34] Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adhlabi, Manhaj
Naqd al Matan ‘inda Ulama al Hadits al Nabawi,(Beirut : Dar al-fikr al-Jadidah,
1983)