“Barangsiapa menyeru kepada hidayah (petunjuk) maka ia mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa yang mengerjakannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”

Minggu, 17 Juni 2012

Prinsip Dasar Dalam Memahami Al-Quran

Fiqhislam.com - Diantara bukti kasih sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya ialah Dia tidak hanya menganugerahkan fitrah yang suci yang dapat membimbingnya kepada kebaikan, bahkan dari zaman ke zaman mengutus seorang Rasul yang membawa Kitab sebagai pedoman hidup dari Allah, menyeru kepada tauhid, mengajak agar beribadah hanya kepada Allah semata.

Menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah datangnya para rasul. Allah berfirman, “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. al-Nisa' (4): 165]

Al-Qur’an adalah risalah dari Allah untuk selurah umat manusia. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang masalah ini, di antaranya, “Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Menghidupkan dan Mematikan. Maka berimanlah kepada Alloh dan kepada kalimat-kalimat-Nya (Kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kalian mendapat petunjuk.” [QS. al-A'raf (7): 158]

Pada masa kini telah berkembang berbagai metodologi penafsiran al-Qur’an yang menyimpang dari al-haq. Mereka membuat penafsiran tanpa landasan dan pijakan para Salafus Sholeh sehingga tafsir mereka sesat dan menyesatkan. Agar kita memahami al-Qur’an dengan pemahaman benar ada dua prinsip dasar yang harus diperhatikan:

Pertama, adalah haram untuk menafsirkan al-Qur’an dengan hanya berpedoman kepada pendapat akal semata.

Perkara tersebut dilarang sebab merupakan manifestasi kecondongan kepada hawa nafsu dan merupakan upaya menafsirkan kalam Allah dengan sesuatu yang tidak Dia maksudkan. Rasulullah SAW telah mewanti-wanti, bahkan mengancam pelakunya dengan neraka.

Sabdanya: “Barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang (kandungan) al-Qur’an tanpa ilmu, maka hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di dalam neraka.” (HR. Tirmidzi)

Barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang (kandungan) al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya dalam neraka.” (HR. Tirmidzi)

Dalam tafsir Mu’tazilah (rasionalis) era Abbasiyyah, wahyu ditafsirkan menurut akal manusia. Misalnya kata “hati” dalam ayat: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Robbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati,’ Allah berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya Ibrahim menjawab: ‘Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tenteram hati saya’. Allah berfirman: ‘(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu kepadamu, kemudian letakkanlah tiap-tiap seekor daripadanya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepada kamu dengan segera’. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Al-Baqarah (2): 260]

Mereka memberi arti baru terhadap hati. Mereka meyakini bahwa Ibrahim memiliki seorang teman yang ia panggil dengan sebutan “hati”. Oleh sebab itu, makna ayat tersebut menjadi: “Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tenteram teman saya.” Penafsiran demikian mereka lakukan sebab keraguan dan kebimbangan mustahil terjadi pada para nabi.

Kedua, tidak boleh membawa atau mengacukan tafsir atas ayat-ayat al-Qur’an pada aliran atau madzhab tertentu.

Jika seorang Mufassir menganut aliran atau madzhab tertentu dalam aqidah, kemudian membawa dan mengacukan ayat-ayat al-Qur’an kepada aliran tersebut, padahal ayat-ayat itu sama sekali tidak mengacu kepada makna itu, baik dari dekat maupun dari jauh, maka ia pasti tersesat.

Sebaliknya, yang harus dilakukan adalah menjadikan al-Qur’an sebagai imam ke mana ia merujuk dalam segala hal. Sebab al-Qur’an-lah yang menjadi sumber utama bagi setiap parsial dari keseluruhan substansi aqidah Islam. Maka, tidak boleh menjadikan satu aliran sebagai dasar untuk menafsirkan dan mengambil hukum-hukum dari al-Qur’an.

Beberapa kalangan Sufi telah mengartikan “Fir’aun” dengan “hati” dalam perintah Allah kepada Nabi Musa “Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.” [QS. an-Nazi'at (79): 17]

Dari ayat ini menurut mereka, sesungguhnya hatilah yang memaksa manusia untuk melampaui batas. Mereka juga mengartikan perintah Allah SWT kepada Nabi Musa.

Dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. Hai Musa, janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan Rosul, tidak takut di hadapan-Ku.” [QS. an-Naml (27): 10]

Firman Allah “lemparkanlah tongkatmu” pada ayat di atas menurut kalangan tasawuf adalah perintah untuk mengesampingkan dunia materi dan bersandar kepada Allah semata.

Pada sekte Qadyani yang muncul di India pada akhir abad ke-19, mengklaim “khatam” dalam ayat, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasululhh dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. al-Ahzab (33): 40]

Tidak dengan pengertian “penutup” sebagaimana lazim dimengerti orang, melainkan dengan “yang terbaik”. Karena itu arti yang tepat ayat itu menjadi: “Yang paling mulia di antara nabi (tapi bukan yang terakhir).” Mereka menyatakan bahwa kata “khatam” juga berarti kesempurnaan.

Beliau telah menyempurnakan masyarakat, dan dengan “kesempurnaan” itu seseorang dapat pula menjadi nabi. Penafsiran-penafsiran ini dibuat dengan tujuan mengabsahkan klaim kenabian pendiri sekte itu, Mirza Ghulam Ahrnad.

Tafsir-tafsir Syi’ah pada era Abbasiyyah di bawah pengaruh obsesi yang berlebihan terhadap keturunan Nabi Muhammad, mengartikan ayat, “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu.” (QS. ar-Rahman (55) :19)

Mereka menafsirkan dua lautan mengalir pada ayat tersebut dengan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. “Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.” [QS. ar-Rohman (55): 22]

Mereka menafsirkan kedua mutiara dan marjan dengan Hasan dan Husain.

Ketiga, hakikat-hakikat syari’at (makna-makna kalimat yang dikenal syari’at) harus didahulukan atas hakikat-hakikat bahasa.

Hakikat-hakikat syari’at (makna-makna kalimat yang dikenal syari’at) harus didahulukan atas hakikat-hakikat bahasa, karena ilmu tentang al-Qur’an didasarkan pada pemahaman atas lafadz-lafadz syari’at yang batasan makna-maknanya telah ditetapkan secara rinci, kemudian baru secara bahasa.

Sabtu, 02 Juni 2012

شبهات الليبراليين في الحديث النبوي 5


perpustakaan LIPIA Jakarta

المبحث الخامس
حديث " إنما الشؤم في ثلاثة في الفرس والمرأة والدار "
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال: سمعت النبي - صلى الله عليه وسلم - يقول: «إنما الشؤم في ثلاثة في الفرس والمرأة والدار».[1]
إنَّ ممَّا يُثير عجبَنا، ويشد اهتمامَنا، ما نراه من بعض الناس، ممَّن ابتلاهم الله بلُوثةٍ فكرية وعقْليَّة، قد ذهبتْ بعقولهم كلَّ مذهب، وراحوا يطعنون في أحاديثَ ثابتة، بحُجَّة أنها لا توافق عقولَهم المريضة، وتأباها نفوسُهم الهذيلة، فليحمدِ المرءُ منَّا ربَّه أنْ عافاه ممَّا ابتلى به غيرَه، ويسأله الثباتَ على دِينه حتى يلقاه.
يزعم الليبرالون الذين لا خَلاقَ لهم: أنَّ الإسلام عاقَ المرأة وأهانها، ووصفها بالشُّؤم، ويَنفثُون سمومَهم في هذه الأحاديث، ويَذكُرون الحديثَ : ((إنَّما الشؤم في ثلاثة: في الفَرَس والمرأة والدار))، ويسلك بعضُ الجاهلين إلى موقفين لا ثالثَ لهما، إمَّا التضعيف، أو الدعوة لغربلةِ الصحاح والسنن، ممَّا علق بها من أحاديثَ ضعيفة وموضوعة، ألاَ شاهتِ الوجوه، وأُخمدت الألسن، وللهِ الأمر من قبلُ ومن بعدُ.
فيدعي أن صحيح البخاري قد حوى أحاديث تخالف العقيدة،[2]  ويستدلون على ذلك بهذا الحديث الباب. فهم يرون أن هذا الحديث لا تصح نسبته إلى النبي صلى الله عليه وسلم؛ لأنه يشتمل على شرك صريح، وذلك لأن الحديث يشير مضمونه إلى أن المرأة والدار والفرس مصادر للشر باستقلالها، وأن المؤمن يجب عليه أن يعتقد ذلك، ولا شك أن في هذا شركا لا ينكر.
ويهدفون من وراء ذلك إلى الطعن في حجية الصحيحين، والتشكيك في قوة إسنادهما. بالخاصة في صحيح البخاري لاشتماله على هذا الحديث. 
وقال قاسم أمين، بأن هذا الحديث تدل على دونية المرأة وانحطاط منزلتها في الإسلام. [3] 
الرد على الشبهة
فإن لرد عن هذه الشبهة و إزالته يمكن أن تتحقق بالتنبيه على عدد من النقاط:
أولا: ليس في صحيح البخاري أي أحاديث تخالف العقيدة، وأما عن الحديث الذي بين أيدينا، فإن المراد منه نفي صحة الشؤم ووجوده حقيقة، فالمراد من شؤم الدار ضيقها وسوء جوارها، وشؤم المرأة عقمها وسلاطة لسانها، وشؤم الفرس ألا يغزى عليه؛..» الحديث، وذلك لأن هذه الأشياء سبب لشقاوة المرء، كما دلت على ذلك أحاديث صحيحة، و يؤكد هذا أن البخاري وغيره قد روى أحاديث كثيرة في تكريم الإسلام للمرأة، وفي فضل الخيل وبركتها إذا اتخذت للغزو.
ثانيا: إن الطاعنين في صحيح البخاري قد بنوا كلامهم كله على فهم خاطئ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «إنما الشؤم في ثلاثةولو أنهم تأملوا أحاديث النبي - صلى الله عليه وسلم - في هذا الموضوع، وجمعوها كلها في مكان واحد، وتأملوها بفكر العالم وإخلاص المؤمن لما وقعوا فيما وقعوا فيه. والشيء العجيب أنهم قد حملوا صحيح البخاري نتيجة فهمهم الخاطئ، وثاروا عليه ثورة عارمة آخذين من زلتهم نقطة ارتكاز، ومبدأ انطلاق لإنكار السنة النبوية نفسها، وما كان هذا المسلك سائغا لهم ولا مقبولا منهم[4].
ومجازفة هؤلاء برد هذا الحديث؛ لأنه - حسب زعمهم - يخالف الشرع، يقتضي الطعن في كل العلماء الذين نقلوه وصححوه، ومنهم: الإمام مالك، وأحمد، ومسلم، وأبو داود، والترمذي، والنسائي، فضلا عن البخاري سلطان المحدثين.
ثالثا:أما الذي عليه الأئمة الأعلام أن مراد النبي - صلى الله عليه وسلم - من هذا الحديث أنه - صلى الله عليه وسلم - ينفي ما كان يدعيه أهل الجاهلية من الشؤم في الأشياء، وإباحته لمن تشاءم من شيء من هذه الثلاثة (المرأة أو الدار أو الدابة) أن يتحول عنها؛ لئلا يستمر اعتقاده الشؤم فيها.[5]
والحديث أخرجه البخاري في الجهاد والسير، باب: ما يذكر في شؤم الفرس، والإمام مسلم في السلام، باب: الطيرة والفأل وما يكون فيه الشؤم، والنسائي في عشرة النساء، باب: شؤم المرأة، والترمذي، كتاب: الأدب، باب: الشؤم. والإمام مالك في الموطأ، كتاب: أبواب السيرة وغيره، باب: النوادر.
وهذا يدل على أن الحديث قد أجمع المحدثون على قبوله؛ لأنهم فهموا المقصد الحقيقي الذي يرمي إليه النبي صلى الله عليه وسلم. وقد ذكر ابن حجر في "الفتح" أقوال أهل العلم في ذلك، ثم عقب عليها:
وقيل: "هذا إرشاد منه - صلى الله عليه وسلم - لمن له دار يسكنها، أو امرأة يكره عشرتها، أو فرس لا يوافقه، أن يفارقها بنقل أو طلاق، ودواء ما لا تشتهيه النفس تعجيل الفراق، والبيع أي للدابة أو للدار - فلا يكون بالحقيقة من الطيرة".[6] وهذا ما فهمه العلماء من هذا الحديث، وهو فهم عاقل متأن لا يمكننا الاستغناء عن مثله.
رابعا: أما الذين أنكروا الحديث وطعنوا في أصح كتاب بعد كتاب الله - عز وجل - وهم يحسبون أنهم على شيء، فإننا ننصحهم بالقراءة والإطلاع في كل علم يتصل بالإنسان، وإلا فإنه يجب عليهم أن يتحملوا كبر ما قالوه". [7]
وطعنهم في حجية الصحيحين، والتشكيك في قوة إسنادهما. بالخاصة في صحيح البخاري لاشتماله على هذا الحديث. فإنه يخالف لما عليه الإجماع,لأن قد تلقت الأمة هذين الكتابين بالقبول، وحصل لهما من الإجماع ما لم يحصل لغيرهما من كتب الحديث.
وقال الإمام النووي: "اتفق العلماء رحمهم الله على أن أصح الكتب بعد القرآن الصحيحان: البخاري ومسلم وتلقتهما الأمة بالقبول".  وقال في موضع آخر: "وتلقي الأمة بالقبول إنما أفادنا وجوب العمل بما فيهما، وهذا متفق عليه... وإنما يفترق الصحيحان، وغيرهما من الكتب في كون ما فيهما صحيحا لا يحتاج إلى النظر فيه، بل يجب العمل به مطلقا، وما كان في غيرهما لا يعمل به حتى ينظر، وتوجد فيه شروط الصحيح.[8]
خامسا: ويؤكد ما سبق أن الشرع قد كرم المرأة، ونبه إلى مكانتها في المجتمع في أحاديث كثيرة، من ذلك ما أخرج الترمذي وغيره أن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال موصيا رجال الأمة بأن يعاملوا أزواجهم معاملة حسنة: «خيركم خيركم لأهله، وأنا خيركم لأهلي...».[9]
 فهذه بعض الأحاديث التي قالها النبي - صلى الله عليه وسلم - موضحا بها مكانة المرأة، وتكريم الإسلام لها، فكيف يدعون أنه - صلى الله عليه وسلم - جعلها مصدرا للشؤم والطيرة؟!
إن فهمهم الخاطئ لكلام النبي - صلى الله عليه وسلم - أودى بهم إلى هذا الادعاء الكاذب على النبي  صلى الله عليه وسلم في الحديث الذي رواه البخاري في كتابه الصحيح.


[1] صحيح البخاري (بشرح فتح الباري)، كتاب: الجهاد والسير، باب: ما يذكر من شؤم الفرس، (6/ 71)، رقم (2858). صحيح مسلم (بشرح النووي)، كتاب: السلام، باب: الطيرة والفأل وما يكون فيه من الشؤم، (8/ 3356)، رقم (5696).
[2] ضلالات منكري السنة، د. طه حبيشي، مطبعة رشوان، القاهرة، ط2، 1427هـ/ 2006م. السنة النبوية بين كيد الأعداء وجهل الأدعياء، حمدي عبدالله عبدالعظيم الصعيدي، مكتبة أولاد الشيخ، القاهرة، ط1، 2007م.
[3] المرأة بين الشريعة وقاسم أمين، زكي علي السيد، دار الوفاء، القاهرة، ط1، 1424هـ /2004م.
[4] ضلالات منكري السنة، طه حبيشي، مطبعة رشوان، القاهرة، ط2، 1427هـ/ 2006م، ص 312 بتصرف.
[5]السنة النبوية بين كيد الأعداء وجهل الادعياء، حمدي عبد الله الصعيدي، مكتبة أولاد الشيخ، القاهرة، ط1، 2007م، ص 179، 180 بتصرف.
[6]شرح الزرقاني على الموطأ، (4/ 485)، نقلا عن: السنة النبوية بين كيد الأعداء وجهل الأدعياء، حمدي عبد الله الصعيدي، مكتبة أولاد الشيخ، القاهرة، ط1، 2007م، ص181.
[7]ضلالات منكري السنة، د. طه حبييشي، مطبعة رشوان، القاهرة، ط2، 1427هـ/ 2006م، ص 314: 316 بتصرف
[8]شرح صحيح مسلم، النووي، تحقيق: عادل عبد الموجود وعلي معوض، مكتبة نزار مصطفى الباز، مكة المكرمة، ط2، 1422هـ/ 2001م، (1/ 125).
[9]صحيح: أخرجه الترمذي في سننه (بشرح تحفة الأحوذي)، كتاب: المناقب، باب: فضل أزواج النبي صلى الله عليه وسلم، (10/ 269)، رقم (4150). وصححه الألباني في صحيح وضعيف سنن الترمذي برقم (3895).

  

شبهات الليبراليين في الحديث النبوي 4

Kunjungan syaikh Sudais (Iman mesjidil Haram) 
المبحث الرابع
حديث:"النساء ناقصات عقل ودين"
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه، حيث قال:«خرج رسول الله -صلى الله عليه وسلم- في أضحى - أو في فطر - إلى المصلى، فمر على النساء، فقال: يا معشر النساء تصدقن؛ فإني أريتكن أكثر أهل النار، فقلن: وبم يا رسول الله؟ قال: تكثرن اللعن، وتكفرن العشير، ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن، قلن: وما نقصان ديننا وعقلنا يا رسول الله؟ قال: أليس شهادة المرأة مثل نصف شهادة الرجل؟ قلن: بلى، قال: فذلك من نقصان عقلها، أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصم؟ قلن: بلى، قال: فذلك من نقصان دينها».[1]  [2]
كان الليبراليون وأصحاب الاتجاهات التغريبية يثيرون الشبهات في الأحاديث النبوية،و ينشرونها بين المسلمين وتشكيكهم فيها. وهؤلاء الليراليون يتبعون أسيادهم من المستشرقين الذين شغبوا على كثير من أحكام الإسلام، محاولين بذلك النيل منه. وقد كانت المرأة محورًا هاما استطاعوا من خلاله إثارة الكثير من الشبهات النابعة عن عدم فهم كثير من حقائق اللغة العربية بوصفها وعاء النصوص التي يثيرون عليها شبهاتهم، وكذلك جهلهم الشديد بثوابت الإسلام, وبالتالي حقدهم على الإسلام.
 وكان مما أثاروا من خلاله مثل تلك الشبهات هي في هذا حديث. حيث يدعي الليراليون بطلان هذا حديث مستدلين على ذلك بـ:
×  أن اضطراب الراوي واضح وظاهر في قوله: في أضحى أو فطر، وهذا كفيل برد الحديث.
×  يبدو أن ما يتبادر إلى الأذهان (أذهان هؤلاء الذين اتخذوا العقل آلهة من الليبراليين) أنه يعتبر المرأة ناقصة عقل، وذلك حينما قرأوا قوله صلى الله عليه وسلم: «وما رأيت من ناقصات عقل..». ليثبتوا من خلاله أن الإسلام يرى أن النساء ناقصات عقل، وأن نقص العقل هو نقص في القدرات العقلية، أي أن قدرات النساء على التفكير أقل من قدرات الرجال؛ بمعنى أن المرأة تختلف عن الرجل في تركيبة العقل فهي أقل منه وأنقص، أي أن تركيبة الدماغ عند المرأة هي غيرها عند الرجل.[3]
×  أن هذا الحديث يعارض ما جاء به القرآن الكريم من تقرير المساواة بين الرجل والمرأة في الحقوق والتكاليف والجزاءات، قائلين: إن الإنسان لايدخل الجنة أوالنار إلا بعد إقامة الحجة عليه، فكيف يخبر النبي -صلى الله عليه وسلم- أن أكثر أهل النار النساء، وهذا غيب لايعلمه إلا الله؟!
×  أن هذا الحديث يتعارض مع قول النبي -صلى الله عليه وسلم- عن السيدة عائشة - رضي الله عنها -: «خذوا شطر دينكم عن هذه الحميراء» فكيف يقول النبي -صلى الله عليه وسلم- عن النساء إنهن ناقصات عقل ودين، ثم يأمرنا أن نأخذ ديننا عن امرأة غير مكتملة العقل؟!
×  رامين من وراء ذلك إلى الطعن في السنة النبوية الصحيحة وتشكيك المسلمين فيها.
الرد على الشبهة
وجوه إبطال الشبهة , سأذكرها على نقاط كالتالى :
1) إن حديث «النساء ناقصات عقل ودين»صحيح لا اضطراب فيه؛ فقد رواه الشيخان في صحيحيهما، وما جاء فيه من شك الراوي أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- بشأن عدم ضبطه في أي العيدين لا يوجب الطعن فيه؛ لأنه قال ذلك خروجا من الكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم، لا سيما وقد رواه غيره من الصحابة.
2) لا يتعارض الحديث مع ما جاء في القرآن الكريم بشأن جعل الرجال والنساء سواء في أصل الخلقة والتكليف؛ لأن القرآن وإن كان قد جعل الرجل والمرأة سواء في أشياء كثيرة، إلا أنه اختص كل واحد منهما بصفات ليست للآخر، فلكل واحد منهما طبيعة ووظيفة مختلفة عن الآخر؛ ليكملا بعضهما.
3) إن حديث: «خذوا نصف دينكم عن هذه الحميراء» حديث موضوع مكذوب على النبي صلى الله عليه وسلم، ومن ثم فلا وجه للقول بتعارض حديث صحيح مع آخر موضوع.
من أجل الكمال للرد على الشبهات حول هذا الحديث فلا بد من التفصيل كالتالي:
أولا. حديث «النساء ناقصات عقل ودين» صحيح لا اضطراب فيه:
إن هذا الحديث من أصح الأحاديث سندا ومتنا فقد رواه الإمامان البخاري ومسلم في صحيحيهما، وليس فيه اضطراب يطعن في صحته بأي وجه من وجوه الطعن التي ترد الحديث وتخرجه من نطاق الحجية.
فقد رواه الإمام البخاري بسنده عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه (الحديث المذكور).[4]  وكذلك قد رواه الإمام مسلم في صحيحه عن عبد الله بن عمر عن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أنه قال: «يا معشر النساء، تصدقن، وأكثرن الاستغفار؛ فإني رأيتكن أكثر أهل النار. فقالت امرأة منهن جزلة: وما لنا يا رسول الله أكثر أهل النار؟ قال: تكثرن اللعن، وتكفرن العشير، وما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب لذي لب منكن. قالت: يا رسول الله، وما نقصان العقل والدين؟ قال: أما نقصان العقل، فشهادة امرأتين تعدل شهادة رجل، فهذا نقصان العقل، وتمكث الليالي ما تصلي، وتفطر في رمضان، فهذا نقصان الدين».[5]
ومعلوم أن الحديث المذكور قيل في مناسبة كبيرة، هي العيد، وكان ذلك بعد أن انصرف النبي من صلاة العيد، كما أن جميع الروايات التي تحدثت عن أن الحديث قيل في يوم عيد لا غبار عليها، وفي الرواية التي أراد أبو سعيد أن يحدد فيها العيد على وجه الدقة تردد بين أن يكون هذا هو عيد الفطر، أو عيد الأضحى.
لقد أمسك هؤلاء بذلك الموقف، وظنوا أن فيه نوعا من الاضطراب الذي يوجب رد الحديث، فراحوا يطعنون في الحديث، ويرفضونه غير عالمين بأي أنواع الاضطراب يرد الحديث.[6]
وهنا نتسائل: ما الاضطراب الذي يوجب رد الحديث؟ وهل قال أحد من أهل العلم إن هذا الحديث مضطرب؟ أليس موجودا في الصحيحين اللذين أجمعت الأمة على صحتهما والأخذ بهما؟!
ثانيا. القرآن الكريم سوى بين الرجل والمرأة في أصل الخلقة والتكليف، لكن اختص كل واحد منهما بأحكام دون الآخر:
إن الآيات التي تتناول الحديث عن المساواة بين الرجل والمرأة في الإنسانية والموالاة، وتكاليف الإسلام والإيمان، وادخار الأجر، وارتقاء الدرجات العلى في الجنة كثيرة صريحة فيما هدفت إليه، ولا تعارض بأي حال من الأحوال تلك الأحاديث الصحيحة التي وردت عن النبي صلى الله عليه وسلم بشأن المرأة، مثل قوله صلى الله عليه وسلم: «تصدقن؛ فإن أكثركن حطب جهنم». وقوله أيضا: «واطلعت في النار فرأيت أكثر أهلها النساء». وقوله «أقل ساكني الجنة النساء»[7]
إن الرجال والنساء في الإنسانية سواء. قال سبحانه وتعالى: )يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير).[8]
وقال سبحانه وتعالى: )ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف وللرجال عليهن درجة(.[9]  تلك هي درجات الرعاية والحياطة، لا يتجاوزها إلى قهر النفس وجحود الحق.
 على أن الشريعة ساوت بينهما في الدماء وإقامة الحدود؛ قال تعالى: )يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى(.[10] وقال سبحانه وتعالى: )والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله). [11] [12]
هذه الآيات وغيرها في باب المساواة في القرآن كثير، ولكن حمل هذه الآيات لرد الأحاديث السالفة بدعوى أن فيها تحاملا على النساء أمر لا يصح؛ لأن ما أخبر عنه الرسول - صلى الله عليه وسلم- ليس فيه ما يشعر بظلم النساء، بل إن الرسول الله قد بين أن ذلك - أي كثرة النساء في النار - يرجع إلى أنهن:«يكثرن اللعن ويكفرن العشير».
 على أن ما استدل به هؤلاء المتوهمون من أن هذه الأحاديث تعارض ما قرره القرآن من قواعد المساواة بين الرجل والمرأة من حيث التكاليف، يعد ضربا للنصوص بعضها ببعض. صحيح أن القرآن قد قرر المساواة في الحقوق والتكاليف بين الرجل والمرأة، لكنه قد وضع فوارق بين كل منهما، وميز كل واحد منهما بميزات ليست للآخر؛ فميز الرجل بالعقل والحكمة، وميز المرأة باللين والعاطفة.
وإن من العدل والمساواة اللذين قررهما الحق في كتابه الجليل، الحساب والجزاء، فلم يخلق الجنة للذكور، والنار للإناث، بل إن الله - عز وجل- جعل العدل ميزانا يحاسب به عباده، لا فرق بين رجل وامرأة، قال تعالى: )ونضع الموازين القسط ليوم القيامة فلا تظلم نفس شيئا وإن كان مثقال حبة من خردل أتينا بها وكفى بنا حاسبين).[13]
إن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يحتقر النساء كما ادعى هؤلاء، وإنما رفع من شأنهن، حين قال: «حسبك من نساء العالمين مريم ابنة عمران، و خديجة بنت خويلد، وفاطمة بنت محمد، وآسية امرأة فرعون».[14] (وقال لأحد الصحابة لما أراد أن يغزو معه فسأله صلى الله عليه وسلم: «أحية أمك؟، فقال الصحابي: نعم يا رسول الله، فقال صلى الله عليه وسلم: ويحك الزم رجلها، فثم الجنة».[15]
وكل هذه الأحاديث إنما تخرج هي والقرآن الكريم من مشكاة واحدة؛ فالقرآن جعل بر الوالدين قرينا بعبادة الله، وعدم الإشراك به، فقد قال الله تعالى: )واعبدوا الله ولا تشركوا به شيئا وبالوالدين إحسانا(.[16]  وجعل الرسول -صلى الله عليه وسلم- عقوق الأمهات من الكبائر.
لا تعارض - إذن - بين هذه الأحاديث، وبين ما قرره القرآن من المساواة بين الرجال والنساء في الحقوق والتكاليف، وإخبار الرسول - صلى الله عليه وسلم- عن حال أهل النار بأن أكثر أهلها النساء، ليس معناه أن يدخل أحد الجنة أو النار قبل إقامة الحجة عليه أو تعرضه للحساب، ولا يتعارض هذا مع استئثار الله بعلم الغيب.
إن الله - عز وجل- يطلع بعض أنبيائه ورسله على ما شاء من أخبار الغيب قال سبحانه وتعالى: )عالم الغيب فلا يظهر على غيبه أحدا.  إلا من ارتضى من رسول فإنه يسلك من بين يديه ومن خلفه رصدا).[17]
قال القرطبي: )إلا من ارتضى من رسول( (الجن: 27) فإنه يظهره على ما يشاء من غيبه; لأن الرسل مؤيدون بالمعجزات, ومنها الإخبار عن بعض الغائبات. وفي التنزيل قال على لسان عيسى عليه السلام: )وأنبئكم بما تأكلون وما تدخرون في بيوتكم( (آل عمران: ٤٩)، وقال العلماء: لما تمدح الله - سبحانه وتعالى- بعلم الغيب واستأثر به دون خلقه, كان فيه دليل على أنه لا يعلم الغيب أحد سواه, ثم استثنى من ارتضاه من الرسل, فأودعهم ما شاء من غيبه بطريق الوحي إليهم, وجعله معجزة لهم، ودلالة صادقة على نبوتهم).[18]
وقد أطلع الله نبيه محمدا - صلى الله عليه وسلم- على النار، وقد ثبت هذا بأكثر من حديث رواها أصحاب الكتب الصحيحة,  وأكد على ذلك الواقع والتاريخ. وقال ابن حجر تعليقا على قوله: «أريتكن»: المراد أن الله أراهن له ليلة الإسراء).[19]
ثالثا. حديث«خذوا شطر دينكم عن هذه الحميراء» حديث منكر، والمنكر لا يعارض الصحيح:
لقد تقلد الطاعنون زعما آخر حين عارضوا حديث: «ما رأيت ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن» بحديث آخر، هو«خذوا شطر دينكم عن هذه الحميراء»، ويقولون: كيف يحكم الرسول - صلى الله عليه وسلم- على جنس النساء بأنهن ناقصات عقل ودين، ثم يأمرنا في حديث آخر أن نأخذ نصف ديننا من امرأة؟!
والحق أن هؤلاء ما دروا الفرق بين هذين الحديثين. أما الحديث الثاني "خذوا شطر دينكم عن هذه الحميراء"، فحديث مكذوب على رسول الله صلى الله عليه وسلم، لا يستدل به على رد حديث صحيح.[20]
وقال ابن القيم عنه: هو كذب مختلق، وكل حديث فيه يا حميراء هو كذلك.[21] وقال الإمام الألباني في مقدمة "إرواء الغليل": إن هذا الحديث موضوع مكذوب على رسول الله صلى الله عليه وسلم).[22]
المفهوم الصحيح لنقصان العقل و الدين لدى المرأة في الحديث:
يبدو أن ما يتبادر إلى أذهان هؤلاء الذين يتيهون فرحا باتهام الإسلام، أنه يعتبر المرأة ناقصة عقل، وذلك حينما قرأوا قوله صلى الله عليه وسلم: «وما رأيت من ناقصات عقل..». ليثبتوا من خلاله أن الإسلام يرى أن النساء ناقصات عقل، وأن نقص العقل هو نقص في القدرات العقلية، أي أن قدرات النساء على التفكير أقل من قدرات الرجال؛ بمعنى أن المرأة تختلف عن الرجل في تركيبة العقل فهي أقل منه وأنقص، أي أن تركيبة الدماغ عند المرأة هي غيرها عند الرجل، ولو أنهم تدبروا الحديث لوجدوا أن هذا الفهم لا يمكن أن يستوي، وأنه يتناقض مع واقع الحديث نفسه، وذلك للملاحظات التالية:
×  ذكر الحديث أن امرأة منهن جزلة ناقشت الرسول. والجزلة، كما قال العلماء، هي ذات العقل والرأي والوقار، فكيف تكون هذه ناقصة عقل، وذات عقل ووقار في نفس الوقت؟ أليس هذا مدعاة إلى التناقض؟
×   تعجب الرسول - صلى الله عليه وسلم- من قدرة النساء، وأن الواحدة منهن تغلب ذا اللب، أي الرجل الذكي جدا. فكيف تغلب ناقصة العقل رجلا ذكيا جدا.؟[23]
×  إن من أوضح ما يدل عليه سياق الحديث أن النبي وجه إلى النساء كلامه هذا على وجه المباسطة التي يعرفها ويمارسها كل منا في المناسبات، وليس أدل على ذلك من أنه جعل الحديث عن نقصان عقولهن توطئة وتمهيدا لما يناقض ذلك من القدرة التي أوتينها، وهي سلب عقول الرجال، والذهاب بلب الأشداء من أولي العزيمة والكلمة النافذة منهم، فهو كما يقول أحدنا لصاحبه: قصير ويأتي منك كل هذا الذي يعجز عنه الآخرون.
إذن فالحديث لا يركز على قصد الانتقاص من المرأة بمقدار ما يركز على التعجب من قوة سلطانها على الرجال.
معنى نقصان الدين:
لقد أوضح الإمام النووي معنى نقصان الدين عند شرحه لهذا الحديث، فقال: أما وصفه صلى الله عليه وسلم النساء بنقصان الدين لتركهن الصلاة والصوم في زمن الحيض، فقد يستشكل معناه، وليس بمشكل بل هو ظاهر، فإن الدين والإيمان والإسلام مشتركة في معنى واحد، كما قدمناه في مواضع، وقد قدمنا أيضا في مواضع أن الطاعات تسمى إيمانا ودينا، وإذا ثبت هذا علمنا أن من كثرت عبادته زاد إيمانه ودينه، ومن نقصت عبادته نقص دينه، ثم نقص الدين قد يكون على وجه يأثم به، كمن ترك الصلاة، أو الصوم أو غيرهما من العبادات الواجبة عليه بلا عذر، وقد يكون على وجه لا إثم فيه كمن ترك الجمعة، أو الغزو، أو غير ذلك مما لا يجب عليه لعذر، وقد يكون على وجه هو مكلف به كترك الحائض الصلاة والصوم.[24]
وليس المقصود بذكر النقص في النساء لومهن على ذلك؛ لأنه من أصل الخلقة، لكن التنبيه على ذلك تحذيرا من الافتتان بهن؛ ولهذا رتب العذاب على ما ذكر من الكفران وغيره لا على النقص، وليس نقص الدين منحصرا فيما يحصل به الإثم، بل في أعم من ذلك؛ لأنه أمر نسبي، فالكامل مثلا ناقص عن الأكمل، ومن ذلك الحائض لا تأثم بترك الصلاة زمن الحيض، لكنها ناقصة عن المصلي".[25]
فنقصان الدين إنما هو إشارة إلى نقص في أداء التكاليف التي ألزم الله بها كل مسلم، وكل مسلمة، لحرمانها من الصلاة والصوم والقيام بنوافلهما من السنن، مثلها مثل الرجل الذي لا يملك مالا يخرج منه الزكاة المفروضة، ولا يملك صدقة يتطوع بها، فهو بذلك يكون أقل أداء لتكاليف الدين من الذي يملك إخراج زكاته وصدقاته.
ولا يعقل أن الحديث النبوي يقصد نقصا في التدين، أو نقصا في العلم بأمور الدين، وأحكام التشريع، وأصوله، وقواعده، وأركانه.
ومعاذ الله أن يقصد قلة التزام بأوامر الدين ونواهيه، بل كثيرا ما نرى نساء أكثر التزاما وتقوى من الرجال، وفي التاريخ نماذج.[26]
وإذا تبين هذا فإن الوصف الذي وصف به رسول الله - صلى الله عليه وسلم- المرأة من النقصان في الدين، إنما يصدق بالمعنى الأول، فهي تترك الصلاة والصوم أثناء حيضها ونفاسها، وليس لها يد في ذلك، ولا يعتبر هذا تقصيرا منها. والمرأة في هذه الحال توصف بأنها ناقصة دين، أي: ناقصة التكاليف الدينية، وليس معناه أنها مقصرة في دينها، إذ ليس لها في أمر فرضه الله عليها أي اختيار.[27]
إذن فلابد أن يعلم أنه لا يجوز أن يقال هذا اللفظ - أعني قول بعضهم: المرأة ناقصة عقل ودين - هكذا على إطلاقه؛ إذ إن هذا القول مرتبط بخلفية المتكلم الذي ينتقص المرأة بهذا القول ويتعالى عليها بمقالته تلك، وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم:«... إن النساء شقائق الرجال».[28]
 أما فيما يتعلق بنقصان العقل:
فقد قال النووي: قال الإمام أبو عبد الله المازري - رحمه الله -: قوله صلى الله عليه وسلم: «أما نقصان العقل فشهادة امرأتين تعدل شهادة رجل» تنبيه منه - صلى الله عليه وسلم- على ما وراءه، وهو ما نبه الله - سبحانه وتعالى- عليه في كتابه بقوله: )أن تضل إحداهما فتذكر إحداهما الأخرى(.[29] أي: إنهن قليلات الضبط، قال: وقد اختلف الناس في العقل ما هو، فقيل: هو العلم، وقيل: بعض العلوم الضرورية، وقيل: قوة يميز بها بين حقائق المعلومات.
والعقل قد يطلق ويراد منه هذا المنهج الذي يستعمله المرء ويلتزم به، ويخضع نفسه إليه حين يواجهه موقف معين.
ومسألة الشهادة على الدين التي اتخذ منها النبي - صلى الله عليه وسلم- شاهدا على نقصان عقل المرأة مسألة تحتاج إلى قوة إرادة ومضاء عزيمة، وهما أمران لم تتمتع المرأة بكثير منهما، إذ لو أعطيت المرأة هذه الصرامة في المعاملة لما استطاعت أن تحتوي زوجها القادم من الخارج متوتر الأعصاب، وهو في هذه الحالة لا تصلحه صرامة الصارمين بقدر ما يصلحه عواطف الحالمين.
والمرأة قد خلقها الله بغير هذه الصرامة، أو على الأقل بغير قدر كبير منها؛ لتتمكن من أن تحتوي أبناءها بعاطفة جياشة تورث المحبة، لا بعصى معلقة تورث الهيبة. المرأة إذا لا يعيبها أن تكون ناقصة عقل بهذا المعنى، بل هذا يصلحها، ويصلح أسرتها وذويها، كما أن الرجل لا يصلحه أن يكون ذا عاطفة جياشة، تغلب صرامته حين يتطلب منه الموقف أن يكون صارما.[30]
وقد علمنا من مبادئ علم النفس وعلم النفس التربوي أن المرأة أقوى عاطفة من الرجل، وأضعف تفكيرا منه، وأن الرجل أقوى تفكيرا من المرأة، وأضعف عاطفة منها، وكلنا نعلم أن التقابل التكاملي بينهما، هو سر سعادة كل من الرجل والمرأة بالآخر...
إذن هذه حكمة ربانية لا بد منها، لكي يعثر كل من الرجل والمرأة في الشخص الآخر على ما يتمم نقصه، ومن ثم يجد فيه ما يشده إليه. والحصيلة تنطق بالمساواة الدقيقة بينهما.[31]
والخلاصة من ردود الشبهات في هذا الحديث, فأقول:
-      إن حديث «النساء ناقصات عقل ودين» حديث صحيح، بل إنه في أعلى درجات الصحة، فقد رواه الشيخان في صحيحيهما، ولا اضطراب فيه، وما وقع من أبي سعيد الخدري - رضي الله عنه- بشأن عدم تحديد أي العيدين كان من باب تحاشي الكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم، وقد رواه عبد الله بن عمر، بما يعضد رواية أبي سعيد الخدري، ويؤكد على صحة الحديث.
-      القرآن الكريم سوى بين الرجل والمرأة في الحقوق والواجبات والتكاليف والجزاءات، ولكنه ميز كل جنس بميزات ليست للآخر، وما انبنى عليه حديث نقصان عقل المرأة ودينها، إنما هو مما اختصت به المرأة من أحكام تناسب طبيعة تكوينها، والأحاديث الواردة بشأن أن النساء أكثر أهل النار وأنهن فتنة.. إلخ صحيحة ولا تعارض القرآن بأي وجه من الوجوه.
-      ما أخبر عنه الرسول - صلى الله عليه وسلم- من أمور غيبية تتعلق بدخول الجنة أو النار أو أن أكثر أهلها النساء أو غير ذلك - إنما هو مما أعلمه الله من الغيب، وليس في ذلك جرأة منه - صلى الله عليه وسلم- على الله - عز وجل- وحاشاه من ذلك.
-      حديث «خذوا شطر دينكم عن هذه الحميراء» منكر، ولا يعارض حديث «النساء ناقصات عقل ودين» كما يدعي هؤلاء؛ لأنه إذا ثبتت نكارة الحديث فقد بطل الاحتجاج به تلقائيا.
-      نقصان الدين عند المرأة من باب أن الدين والإيمان والإسلام بمعنى واحد، والطاعات تسمى إيمانا ودينا، فإذا زادت تلك الطاعات زاد الدين، والعكس، إذن نقصان دين المرأة من باب قلة الطاعات في وقت تركها للصلاة والصوم.
-      نقصان عقل المرأة ليس مقصورا على المعاملة في الدين فقط، بل العقل يطلق ويراد به المنهج الذي يلتزم به المرء، ويخضع نفسه إذا واجهه موقف معين، وهو حكمة ربانية لا بد منها لتكافؤ العلاقة بين الرجل والمرأة.











[1]صحيح مسلم (بشرح النووي)، كتاب: الإيمان، باب: بيان نقصان الإيمان بنقص الطاعات، (2/ 459)، رقم (237). و في صحيح البخاري (بشرح فتح الباري)، كتاب: الحيض، باب: ترك الحائض الصوم، (1/ 483)، رقم (304).
[2]ذكر دكتور محمد زكي شيخ أبو بكرهذا الحديث من ضمن الأحاديث التي تهين المرأة (Misogynistic) في مقالته بعنوان : Analisis  Kritis Terhadap Hadis-Hadis Misoginis)مدرس بكلية الشريعة جامعة  الدينية السلامية حكومية   ” Raden Intan” لامبونج(

[3] دكتور محمد زكي شيخ أبو بكر مقالة بعنوان : Analisis  Kritis Terhadap Hadis-Hadis Misoginis ,ص: 11 .
[4]صحيح البخاري (بشرح فتح الباري)، كتاب: الحيض، باب: ترك الحائض الصوم، (1/ 483)، رقم (304).
[5]صحيح مسلم (بشرح النووي)، كتاب: الإيمان، باب: بيان نقصان الإيمان بنقص الطاعات، (2/ 459)، رقم (237).
[6]الحديث المضطرب،وكما عرفه الإمام السيوطي, قال:"الحديث المضطرب: هو الذي يروى على أوجه مختلفة متقاربة، فإن رجحت إحدى الروايتين بحفظ راويها، أو كثرة صحبته المروي عنه، أو غير ذلك، فالحكم للراجحة ولا يكون مضطربا، والاضطراب يوجب ضعف الحديث لإشعاره بعدم الضبط، ويقع في السند تارة، وفي المتن تارة أخرى
[7]صحيح مسلم (بشرح النووي)، كتاب: الرقاق، باب: أكثر أهل الجنة الفقراء وأكثر أهل النار النساء، (9/ 3841)، رقم (6808).
[8]سورة  الحجرات : 13
[9] سورة البقرة: ٢٢٨
[10] سورة البقرة: ١٧٨
[11]سورة المائدة: ٣٨
[12] انظر: عودة الحجاب، محمد أحمد إسماعيل المقدم، دار طيبة، القاهرة، ط10، 1428هـ /  (2/ 75 : 79).
[13] الأنبياء:47
[14]صحيح: أخرجه الترمذي في سننه (بشرح تحفة الأحوذي)، كتاب: المناقب، باب: في فضل خديجة ـ رضي الله عنها، (10/ 265)، رقم (4145). وصححه الألباني في صحيح وضعيف سنن الترمذي برقم (3878).
[15]صحيح: أخرجه ابن ماجه في سننه، كتاب: الجهاد، باب: الرجل يغزو وله أبوان، (2/ 929)، رقم   (2781). وصححه الألباني في صحيح وضعيف سنن ابن ماجه برقم (2781).
[16]سورة النساء: ٣٦
[17] سورة الجن : 27-27            
[18]الجامع لأحكام القرآن، القرطبي، دار إحياء التراث العربي، بيروت، 1405هـ/ 1985م، (19/ 27، 28) بتصرف.
[19]فتح الباري بشرح صحيح البخاري، ابن حجر العسقلاني، تحقيق: محب الدين الخطيب وآخرين، دار الريان للتراث، القاهرة، ط1، 1407هـ/ 1987م، (1/ 484).
[20]تحفة الأحوذي بشرح جامع الترمذي، المباركفوري، دار الكتب العلمية، بيروت، ط1، 1410هـ/ 1990م، (10/ 259).
[21]المنار المنيف في الصحيح والضعيف، ابن قيم الجوزية، تحقيق: عبد الفتاح أبو غدة، مكتب المطبوعات الإسلامية، سوريا، ط2، 1403هـ/ 1983م، ص60، 61.
[22]إرواء الغليل في تخريج أحاديث منار السبيل، الألباني، المكتب الإسلامي، بيروت، ط2، 1405هـ/ 1985م،
[23]المفصل في الرد على شبهات أعداء الإسلام، علي بن نايف الشحود، (2/ 240).
[24] شرح صحيح مسلم، النووي، صحيح مسلم بشرح النووي، النووي، تحقيق: عادل عبد الموجود وعلي معوض، مكتبة نزار مصطفى الباز، مكة المكرمة، ط2، 1422هـ/ 2001م، (2/ 462).
[25]فتح الباري بشرح صحيح البخاري، ابن حجر العسقلاني، تحقيق: محب الدين الخطيب وآخرين، دار الريان للتراث، القاهرة، ط1، 1407هـ/ 1987م، (1/ 484، 485).
[26]شبهات وأباطيل منكري السنة، أبو إسلام أحمد عبد الله، مركز التنوير الإسلامي، القاهرة، ط2، 2006م، ص121.
[27]المرأة بين طغيان النظام الغربي ولطائف التشريع الرباني، د. محمد سعيد رمضان البوطي، دار الفكر، دمشق، ط6، 1425هـ / 2005م، ص177، 178 بتصرف.
[28] المفصل في الرد على شبهات أعداء الإسلام، علي بن نايف الشحود، (14/ 106).
[29]  سورة البقرة: ٢٨٢
[30]ضلالات منكري السنة، د. طه الدسوقي حبيشي، مكتبة رشوان، القاهرة، ط2، 1427هـ/ 2006م، ص70، 71 بتصرف.
[31]المرأة بين طغيان النظام الغربي ولطائف التشريع الرباني، د. محمد سعيد رمضان البوطي، دار الفكر، دمشق، ط6، 1425هـ / 2005م، ص174.